Sikap saya sendiri terhadap Kartini masih ambigu apakah putri keluarga bangsawan di Jepara ini layak dijadikan tokoh emansipasi? Saya menghormati hari kelahirannya setiap 21 April layak diperingati.
Alasannya bisa simpulkan, yaitu kekuatan pemikirannya yang kritis terhadap poligami dan kesetaraan perempuan untuk memperoleh pendidikan seperti laki-laki dalam surat-suratnya kepada sahabatnya Stella Zeehandelar dan Rossa Manuela Abdedanon yang kemudian dikumpulkan menjadi buku bertajuk "Habis Gelap Terbitlah Terang".
Sekalipun akhirnya Kartini juga tidak kuasa untuk menolak jadi istri dari Bupati Rembang yang sudah memiliki tiga istri. Dalam film Kartini yang dibintangi Dian Sastrowardoyo digambarkan bahwa anak-anak Bupati Rembang itu nge-fans dengan Kartini karena tulisannya yang inspiratif.
Selain itu Kartini sebetulnya yang lahir dari pencitraan yang diciptakan Van Deventer tokoh politik etis untuk menjadikan keberhasilan gagasannya bahwa pribumi bisa maju lewat pendidikannya-suatu kebijakan yang punya niat terselubung untuk memperkokoh kolonialisme di antaranya mendapat tenaga murah terdidik dengan edukasi.
Mengapa harus Kartini yang diperingati? Pada 1950-an hasil penelusuran saya di Pikiran Rakjat menunjukkan sejumlah pihak merayakan hari Dewi Sartika di Jawa Barat setiap 4 Desember. Bukankah Dewi Sartika lebih real menghadirkan semacam sekolah istri pada 1904? Sementara gagasan Kartini baru terwujud pada 1913 atas Prakarsa Van Deventer berupa sejumlah sekolah untuk perempuan.
Bukankah Rohana Koedoes lebih tegas membela perempuan ketika menerbitkan Soenting Melajoe pada 1910-an dan sekolah kerajinan yang ia prakasai lebih solusi bagi pemberdayaan perempuan bukan hanya pendidikan tetapi berdiriakari secara ekonomi. Belum lagi gerakan pemberdayaan perempuan di Minahasa?
Baca: Mengapa Harus Kartini Yang Diperingati Secara Khusus karya Monique Rijker di DW 21 April 2020
Apresiasi terhadap Kartini sudah terjadi masa penjajahan Belanda. La Gazette de Hollande 25 Oktober 1913 menyebutkan Sekolah Kartini diprakasai perkumpulan Kartini yang memperhatikan intelektual dan moral perempuan pribumi.
Sekolah itu kini menjadi SDN Sarirejo, Jalan Kartini. Walaupun bangunan baru tetapi daun pintu dan jendela dari kayu janji menjadi sejak sejarahnya. Referensi menyebutkan sekolah ini diprakasai Yayasan Van Deventer melalui Yayasan Kartini.
Sumber: SDN Sarirejo di Semarang