Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perang Padri: Adu Benteng di Ranah Minang (1)

15 Mei 2021   19:22 Diperbarui: 15 Mei 2021   19:39 2039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tuanku Imam Bonjol-Foto: Fajar Pos.

Sejumlah referensi umumnya menyebutkan Perang Padri yang berlangsung antara 1821-1838 adalah perlawanan terhadap kolonialisme Belanda yang awalnya sebetulnya pertentangan antara sekelompok ulama (dan pengikutnya) dengan kalangan Kaum Adat.

Para ulama menentang kebiasaan yang bertentangan dengan nilai agama, seperti perjudian, sabung ayam, madat, menegak minuman keras, hingga longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal terhadap agama Islam.

Motor penggerak para ulama ini awalnya dalah tiga orang, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang pulang dari Mekkah pada 1803. Mereka menganggap syariat Islam yang ada di kalangan masyarakat Minangkabau belum sempurna.

Pada saat itu Mekkah sedang dihadapkan oleh satu gerakan puritan yang diprakarsai oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab (karena itu kadang disebut 'Wahabi'); yang menginginkan agar umat Islam kembali pada ajaran para pendahulu (salaf---dan karena itu kadang disebut 'Salafi').

Mereka menentang tradisi-tradisi keislaman seperti tawasul dan ziarah kubur yang mereka anggap bidah atau syirik. Gerakan ini menginspirasi orang-orang Minangkabau yang berangkat haji untuk turut melakukan 'reformasi' terhadap tradisi keislaman di kampung halaman mereka.

Para ulama dan pengikutnya kemudian dikenal dengan nama Kaum Padri (diambil dari kata Pedir, atau Pidie, suatu pelabuhan di Aceh tempat orang-orang Minangkabau tersebut berlayar ke Arab.

Ketiga haji itu didukung oleh Tuanku Nan Renceh bersama ulama lain membentuk Harimau Nan Salapan.  Mereka adalah, Tuanku Nan Renceh di Kamang, Tuanku Luhur Aur di Cadung, Tuanu Berapi di Bukit (Cadung), Tuanku Padang laweh (Padang Lawas), Tuanku Padang Luar, Tuanku di Galong di Sungai Puar, Tuanku Banesa dan Tuanku Kapau.

Makin lama pendukung Kaum Padri membesar dan konflik pun tak terhindarkan. "Revolusi" pun tak terhindarkan, berakibat antara lain runtuhnya kerajaan Pagaruyung pada 1809 dan rajanya melarikan diri ke Malaya.

Belanda bersedia membantu Kaum Adat, yang tidak paham bahwa tindakan mereka sama dengan menyerahkan kedaulatan ranah Minang kepada penjajah. Selain itu Belanda mempunyai motivasi lain

Belanda memang ingin menguasai Sumatera agar tidak didahului Inggris yang waktu itu sudah ada di Bengkulu.  Apalagi Inggris berhasil melakukan konsolidasi kekuasaan di India pada akhir abad ke 18 dan sudah  mengusai sejumlah tempat di semenajung Malaya.

Inggris  ingin menguasai selat antara Malaya dan Sumatera yang merupakan urat nadi perdagangan.  Di sisi lain Sumatera Barat juga kaya dengan komoditas yang laku di pasar dunia seperti kopi yang tumbuh di Sumatera Barat sejak abad ke 18 dan lada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun