Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Ratapan Anak Tiri" dan Citra Ibu Tiri: "Duluuu!"

28 Maret 2021   21:31 Diperbarui: 29 Maret 2021   07:02 3650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok Serayu Agung Jaya Film

Dirilis pada 1973, "Ratapan Anak Tiri" menjadi box office Indonesia, Situs Film Indonesia mencatat angka 467.831.  Saya termasuk salah satu di antaranya, bersama kedua orangtua dan adik-adik saya kalau tidak salah ingat di New Garden Hall, Kebayoran.

Film yang menguras air mata.  Sejak pertengahan cerita, sudah mau keluar dari bioskop karena tidak tahan melihat penderitaan kakak beradik Netty (Dewi Rosalia Indah) dan Sussy (Faradilla Sandy) akibat kekejaman ibu tirinya Ningsih (Tanty Yosepha).  Terutama pada adegan keduanya berada di jalanan, rasanya geregetan. Kok bisa ibu tiri berbuat sekeji itu.

Nggak terlalu melekat pada ceritanya, yang saya ingat saya menyesalkan Sang Bapak (Sukarno M. Noor) mau saja menikah lagi. Bukankah ada bibi atau paman dari pihak almarhum istrinya atau dari diri dia, kalau maksudnya agar ada menjaga anak-anaknya dan begitu cepat tanpa adaptasi.

Bagaimana citra ibu tiri dalam film itu, ya seperti soundtracknya kalau tidak salah yang menyanyikan Emilliaa Contesa. Sangat membekas di kepala, habis menonton film itu lalu mendengarkan lagu.  Betapa malang nasibku/ semenjak ditinggal ibu/Walau kini dapat ganti, seorang ibu/ibu tiri/ dan  reff-nya menohok Ibu tiri hanya cinta kepada ayahku saja/Selagi ayah di sampingku, kupuja dan dimanja/ tapi bila ayah pergi, ku dinista dan dicaci/Bagai anak tak berbakti tiada menghiraukanku lagi.  

Bahkan muncul ungkapan sekejam-kejamnya ibu tiri, lebih kejam ibu kota.  Tetap saja ibu tiri dijadikan bandingan kekejaman. "Ratapan Anak Tiri" memperkuat stigma buruknya ibu tiri yang sudah ada dalam dongeng "Cynderella" yang juga jadi bacaan anak-anak.

Nah, beberapa tahun lalu, saya menonton lagi via youtube dan membaca ceritanya, ternyata tidak hitam putih seperti itu.  Yuwono sang ayah menikah lagi, setelah istrinya meninggal karena melahirkan anak ketiga. Dia menikahi bawahannya bernama Ningsih. Namun rupanya ada Harun (Bambang Irawan) yang juga menaruh hati pada Ningsih dan melakukan rekayasa bahwa Yuwono melakukan penggelapan dan menyebabkan dia ditahan.  Harun kemudian mempengaruhi Ningsih berbuat kejam pada anak tirinya.  Ketika bebas dari penjara Yuwono mencari kedua anaknya di belantara Jakarta.

Tetap saja ada lubang di cerita ini, kok bisa ya? Selain dari keluarga Yuwono atau pihak istrinya  yang lain nggak ada, guru sekolah dan tetangga nggak curiga raibnya kakak beradik.  Apalagi waktu Jakarta masih big village, kompleks perumahan yang individualis belum banyak dan "kepo" nya orang kampung cukup tinggi.  

Namun sutradara Sandy Suwardi Hassan (dan kemudian film berikutnya yang sebangun) berhasil melakukan konstruksi  pikiran penonton jangan sampai punya ibu tiri, baik-baiklah sama ibu kandung. Bapak jangan sampai kawin lagi, ya, kalau punya anak.  Setidaknya pada diri saya, citra ibu tiri sangat buruk; yang ada di benak  ngasih makan ke anak tirinya asal jadi, main pukul, memperbudak anak seperti pembantu di rumahnya sendiri.  Ibu tiri adalah monster.

Itu dulu. Kalau pakai perspektif sekarang rasanya, kehadiran "Ratapan Anak Diri" sejalan dengan kampanye KB yang dijalankan Pemerintah Orde Baru. Jumlah anak dalam film untuk anak-anak dalam satu keluarga waktu itu antara satu atau dua.  Kematian istri pertama Yuwono karena melahirkan anak ketiga, yang dilarang dokter.

Film itu juga terkesan eksploitasi penderitaan anak-anak (saya curiga dalam pemikiran orang dewasa tentang kerasnya hidup) dan bukannya menggambarkan anak-anak dalam tertawa, kegembiraan, bermain, bernyanyi  seperti dalam film "Sound of Music",  yang seperti ini harusnya film anak-anak.     

Kalau sekarang memperlakukan anak-anak dengan kekerasan bakal heboh sejagat maya (seluruh negeri). Belum lagi perangkat hukum, ada UU Perlindungan Anak, LBH, aktivis HAM, media massa yang bukan main cerewetnya dan paling kejam adalah jadi viral di media sosial. Bisa "mati berdiri" itu bediri, ungkapan zaman now.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun