Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Betapa Tidak Menariknya Pilkada Depok

6 Desember 2020   15:31 Diperbarui: 8 Desember 2020   16:23 1691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengunjung melintas di Alun-alun Kota Depok yang baru diresmikan Wali Kota Depok, Depok, Jawa Barat, Minggu (12/1/2020). Alun-alun tersebut memiliki berbagai macam fasilitas olahraga, gerai UMKM, hingga working space. (KOMPAS.com/M ZAENUDDIN)

Kesan saya "dormitory" saja, sudah saya ungkapkan dalam berapa tulisan di Kompasiana. Maksudnya sebagian penduduknya beraktivitas dan berekreasi di Jakarta atau ke luar kota, tetapi di Depok hanya untuk tidur. 

Saya memang sependapat pembangunan memang berat di wilayah Margonda, karena di situ pusat aktivitas bisnis. Itu pun karena dipicu keberadaan Universitas Indonesia. Sudah itu, tidak didukung pembangunan infrastruktur memadai.  Kota Depok sepertinya dipaksakan untuk menjadi "pelayan Jakarta".  

Sebetulnya untuk apa sih mal besar-besar di Kota Depok? Satu-satunya fungsi menjadi tempat rekreasi warga, karena nggak ada lagi ruang publik yang menarik untuk jadi tempat rekreasi.

Memang sejumlah taman dipercantik, di dekat permukiman. Itu juga saya lihat dan pandemi memberi imbas taman itu jadi tidak bisa digunakan. Mal juga kalau ada PSBB yang diperketat akan berakhir secara ekonomis. Kemajuannya, biar fair, yaitu RSUD Depok yang sudah memadai, kapasitasnya diperbesar.

Mal yang sebetulnya pas itu adalah Mal Cinere. Tidak besar, tetapi cocok untuk pemukim di sekitarnya. Itu pun karena ada Superindo, food court, Gramedia, Pojok Busana, dan Bioskop dan arena bermain anak. Pengunjung dari warga bercelana pendek dan pakai sandal ke mal, untuk keperluan pendek. Bukan hang out. Setahu saya warga Cinere lebih suka ke Citos atau PI Mal.

Satu lagi ada di Perempatan Gandul-Jakarta, pasar Segar okelah. Itu sebelum pandemi. Sesudah pandemi Gramedia ditutup dan mal hanya hidup karena Superindo.

Kalau Depok akhirnya hanya berfungsi sebagai kota "dormitory", ya buatlah hanya untuk kebutuhan itu.

Pasar tradisional yang bagus dan tidak becek di tiap kelurahan, ruang terbuka hijau gratis yang bisa dinikmati warganya, perbanyak sentra kuliner dengan harga murah meriah, mengingat demografi Depok banyak orang menengah ke bawah. Bukannya mendirikan mal mewah, tetapi sebagian warganya hanya bisa jalan-jalan. Bahkan ada situs sejarah yang terganggu karena adanya mal. 

Okelah, ada ITC dekat terminal di mana UKM Depok dapat tempat, baik kerajinan maupun kuliner. Tempatnya strategis, orang turun dari stasiun atau terminal bisa mampir. Harganya murah lagi. Itu bagus. Iya, dari segi ini Pemkot juga ada perhatian untuk UKM dan pedagang kaki lima. Walaupun saya juga dengar ada kontribusi dari sebuah lembaga dikelola Fakultas Ekonomi Bisnis UI.

Jadikan Depok menjadi suburban yang menarik. Kan Depok masih ada wilayah buat pertanian. Mengapa tidak mendorong warga menghidupkan koperasi pertanian? Misalnya untuk komoditas belimbing. Dulu ada dan ketika saya pernah telusuri ternyata tidak berfungsi.

Mengapa belimbing Depok tidak disalurkan ke pasar swalayan hingga dijadikan olahan? Mengapa belimbing tidak dijadikan agrowisata? Harusnya itu didukung Pemkot?  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun