Pilkada Kota Depok yang digelar 9 Desember besok menjadi Pilkada yang paling tidak menarik bagi saya. Pertama, yang bertarung bisa dibilang sama-sama petahana, pertarungan antara wali kota dan wakil wali kota yang sekarang.
Tidak ada upaya memunculkan muka baru, yang ada aroma konstelasi politik. Pendukung Jokowi di satu sisi dan di sisi lain "oposisi"-nya yang diwakili oleh PKS dan Demokrat. Mau tidak mau pemilih yang datang bukan karena peduli dengan visi dan misi para kandidatnya, tetapi karena politik nasional. Tepatnya untuk 2024.
Yang satu pasangan berteriak perubahan, lah sang kandidat yang meneriakan perubahan itu sendiri juga bagian dari rezim. Masa waktu dia memerintah, dia tidak ada upaya melakukan perubahan?Â
Saya tidak pernah dengar dia mengkritisi wali kotanya atau dia yang buat kebijakan yang mengarah ke perubahan. Nggak bisa dong dituduh, kan wewenang di tangan wali kotanya. Sementara sang wali kota tampaknya hanya berhasil menunjukkan upayanya menjadikan Kota Depok sebagai kota religius, lewat perdanya.
Iya, nggak salah juga masyarakat Depok memang didominasi "konservatif". Itu saya lihat sekilas ketika singgah di Meruyung, Sawangan, Beiji. Mereka nggak mau ada orang yang melanggar norma keagamaan di daerahnya, seperti mabuk miras. Sampai hal ini, saya masih menerima.
Sekalipun terkadang semangat religi itu mengabaikan hal lain. Saya pernah salat Jumat di sebuah masjid di kawasan Meruyung dan berupaya menjaga jarak, tetapi pas salat diserobot selanya dan masjid itu total melanggar protokol. Alhamdulillah, waktu test swab negatif. Â Â
Kesan saya sebagai warga Cinere, kedua calon petahana ini tampaknya hanya memerhatikan Depok sebelah sana dan sampai saat ini warga Cinere hanya merasakan dipunguti pajak yang besar, tetapi jalan masih rusak dan macet.
Harusnya Pilkada itu ada dialog dari wilayah ke wilayah mengingat perbedaan karakter demografi yang besar antarkecamatan di Kota Depok. Tapi dari Pilkada ke Pilkada tidak ada tuh dialog dari wilayah ke wilayah, di mana para calon pemilih boleh "membantai" hingga memberi "masukan" visi dan misi para calon pemimpin mereka. Minimal tim think tank para paslon. Â
Jangan-jangan di Pilkada lain juga begitu, nggak ada dialog dari wilayah ke wilayah yang dijadwalkan, mau pakai webminar atau pertemuan terbatas di musim pandemi ini? Ah, waktu bukan pandemi saja, nggak ada tuh dialog dari wilayah ke wilayah, baik itu Pileg, Pilkada, hingga Pilpres.
Oke, itu soal Pilkadanya yang menurut saya lebih berat untuk mengamankan kepentingan 2024 atau gengsi kekuatan politik nasional sekarang dengan semua fans dan netizen yang kerap merasa "maha benar".
Depok Harus Punya Karakter
Kini, Depoknya bagaimana? Lalu apa masukan saya? Ya, kalau saya berangkat dari: "Depok itu kota apa sih?"