Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Media "Mainstream" Ikut Mempromosikan Pornografi?

15 November 2020   21:31 Diperbarui: 15 November 2020   21:40 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-Foto: HerStory,

Sebagai kuli media saya punya otokritik bahwa  media ikut bertanggungjawab mempromosikan pornografi dan kerap tidak sadar.  Kok bisa demikian? Kasus video syur menimpa seorang artis baru-baru ini yang notabene adalah perempuan menjadi viral sebetulnya hanya akan beredar di kalangan terbatas kalau media mainstream  atau arus utama tidak memberitakannya.  Saya saja baru tahu dari pemberitaan.

Saya saja baru tahu ketika membaca berita di media online.  Ini terus berulang dari tahun bahkan sebetulnya sejak 1990-an ketika saya baru menjadi jurnalis. Waktu itu ada adegan percintaan artis Indonesia dengan seorang aktor bule dalam sebuah film diangkat menjadi headline (termasuk oleh media tempat saya bekerja) dan sebetulnya juga media lain mengangkat, kontan banyak orang ikut mencari tahu?

Sebetulnya wilayah koran kuning yang banyak sudah terjadi sejak akhir abad 19.  Encyclopeia Britannica menyebut  jurnalisme kuning, penggunaan fitur seram dan berita sensasional dalam penerbitan surat kabar untuk menarik pembaca dan meningkatkan sirkulasi. Frasa ini diciptakan pada tahun 1890-an untuk menggambarkan taktik yang digunakan dalam persaingan sengit antara dua surat kabar New York City, World dan Journal.

Kini  cara yang sama (walaupun lebih halus) digunakan untuk meningkat viewer. Pertanyaannya penting nggak sih video syur artis diberitakan untuk publik? Kalau saya jawab sebagai jurnalis bisa saja menjawab untuk menegakan moral bahwa ada pornografi yang melibatkan publik figur, mengancam anak-anak dan generasi muda. 

Tetapi kemudian yang terjadi lebih banyak pembaca malah mencari link-nya. Secara tidak sadar media Indonesia masih bias budaya patriaki. Mengapa yang disorot selalu yang perempuan? Iya, karena pasti banyak yang mengklik.  Coba kalau aktornya laki-laki? Oh, ya mengapa pelaku laki-lakinya yang juga "bermain" dengan artisnya tidak dicari tahu? Itu kan sama dengan prostitusi artis, tetapi yang disorot ceweknya, bukan siapa yang jadi pelanggannya.

Jujur, saya juga terlanjur terkonstruksi budaya patriaki suka mengkoleksi dan mengakses foto perempuan cantik, teruama publik figur. Tapi saya upayakan jadi konsumsi pribadi tidak ditampilkan di publik.  Apalagi mempromosikan sensualitasnya. Itu jadi wilayah privasi.

Kedua, media secara tidak sadar juga membuat pengalihan perhatian publik dari isu yang sebetulnya lebih penting bagi publik.  Atau memang masyarakat sudah jenuh dengan politik yang terbelah dan saling melempar isu yang tidak konstruktif tetapi saling menjelekan lawan politik idolanya? Padahal setiap tokoh politik punya sisi positif dan sisi negatifnya.

Lagi-lagi media arus utama  kerap tidak berimbang menulis. Jangan disalahkan bahwa berita hoaks merajalela, karena satu pihak tidak puas dengan berita dari media arus utama ini.

Kembali ke soal video syur, jadi tidak penting apakah artis yang bersangkutan benar menjadi pelakunya atau tidak, pakai melibatkan pakar telematika atau tidak. Harusnya itu jadi urusan polisi dan aparat hukum.  Lagipula itu urusan privasi si artis atau yang menyerupai beradegan intim. 

Hanya saja pelaku yang pertamanya yang menyebarkan itulah yang harus berurusan dengan hukum.  Bukan si artis atau yang menyerupai artis. Saya khawatir si pelaku juga tidak sadar bahwa dia melakukan kekerasan seksual berbasis gender.  Seperti halnya pengunggah video serupa dengan motivasi mementingkan followers, viewer dan akhirnya uang.  

Hanya saja ada satu pertanyaan masih dalam benak saya, kok ada orang yang suka merekam adegan syurnya?  Bukankah tidak belajar dari pengalaman bahwa itu berakibat tidak baik dan bisa menjadi konsekuensi hukum?

Irvan Sjafari   

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun