Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Guru Minda (7)

21 September 2020   09:29 Diperbarui: 21 September 2020   09:36 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi---Ceritanakdunia.com

TUJUH

"Kakanda, bangun!  Ada orang-orang asing mencarimu.  Di antaranya ada yang mengaku Ambu Anjeun," terdengar suara Purbasari di samping tempat tidurku.  Dadung Bala Dewa juga ada. Mereka tampaknya terheran-heran.

Aku menggeliat.  Lalu bangun.  Aku tadi salat subuh dan kemudian tidur lagi, kelelahan habis bekerja di ladang membantu panen jagung dan panen ikan mas. 

"Guru, ini Ambu!"

Suaranya aku kenal.  Suara Ambu aku. Mustahil, orang-orang dari Titanium menyusul ke Bumi. Mereka pasti melacak dari radar antar pesawat dan juga dari hanggar.

Dengan mata masih mengantuk, aku mengikuti istriku turun dari tanggung panggung.   Ternyata di bawah memang menunggu Ambu aku dengan mata berkaca-kaca.  Aku melihat sekelilingnya ada Teteh Mayang, Teteh Sisil, Kang Mamo, Teteh Ira, dokter Oscar ahli alergi aku, ada sejumlah orang sipil lainnya dan sembilan tentara bersenjata lengkap.  Di antara tentara itu ada yang aku kenal Samuel Wanggai. Dia juga senang.

Aku juga melihat rombongan membawa belasan robot anjing. Para warga juga takjub melihat robot anjing itu.  Itu artinya mereka serius mencariku dengan peralatan lengkap.  Seluruh rombongan berjumlah di atas dua puluh orang. Pastilah dipakai pesawat guru minda ukuran besar.  Aku melihat ada motor capung terbang dan jip terbang. Namun baru sebagian.

Mimpi?

Aku menghambur dengan hanya celana dan baju warga sini dan tubuh yang berbulu seperti lutung memeluk Ambu.  Dia tidak memperdulikannya, tidak ada rasa jijik.  Air matanya berjatuhan. Aku pun tak bisa menahan air mataku.

Mereka masih peduli kepada aku. Walau aku buruk rupa. Bagaimana pun Ambu adalah semesta pertamaku. Aku lahir dari rahimnya dan dia tetap menerima aku apa pun adanya.

"Maafkan aku Ambu!" Aku makin terisak. Air mataku berhamburan.  Purbasari menyaksikan juga tak bisa menahan tangis.  Aku berlutut di kakinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun