Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Guru Minda (6)

18 September 2020   18:18 Diperbarui: 18 September 2020   18:20 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-Foto: Dunia.com

Imprealisme? Bukankah itu Fasisme? Macam-macam saja.  Sumber sejarah di perpustakaan virtual Titanium cerita soal Hitler dengan ruang hidupnya serta Jepang dengan Asia Timur Raya-nya. Itu jauh dari masa ini.  Juga penjajahan Barat. Tetapi bukan Romawi, Persia, mungkin juga kerjaan-kerajaan Nusantara dulu imprealisme? Bukankah Sriwijaya dan Majapahit melakukan ekspansi atas nama persatuan nusantara, tetapi juga dengan militer? Bukankah itu imprealisme juga? Beda dengan pembentukan Indonesia atas kesepakatan semua daerah dan itu butuh proses panjang.

Tetapi kalau aku berpikir, mungkinkah naluri kelam manusia memang begitu suka mengeksploitasi sesamanya? Bukankah orang Romawi mengenal perbudakan, mengambil orang dari negeri yang ditaklukan jadi budak?  Aku masih ingat Purbaendah menjadikan tawanananya sebagai budaknya.

"Bagaimana dengan Purbaendah dan Purbamenik yang ada di pihak Purbararang?"

"Kalau Purbamenik memang dekat dengan Purbararang. Dia disayang. Purbamanik itu manja. Dikasih wilayah malah lebih banyak di istana Pasir Batang. Pemerintahannya dijalankannya patihnya bernama Prakasa. Untung orangnya cakap memerintah.

Lain halnya dengan Purbaendah suka menyendiri, terutama setelah benda dari langit itu ditemukannya. Dia suka membawa sesuatu bercakap-cakap  di kamarnya dengan seseorang dengan benda itu. Padahal tidak orang?"

Benda apakah itu? Purbaendah mengingatkan pada Bagus kawan sekamarku. Tetapi perempuan itu sepertinya lebih gila pada benda.

"Kak Purbaendah kerap bicara soal surga di langit, tempat para hiyang katanya sudah dihuni manusia. Dia ingin ke sana," tutur Purbasari.

Aku tersentak. Apa iya, Purbaendah tahu soal keberadaan koloni manusia di planet lain. Tetapi bukankah ada beberapa koloni manusia yang tersebar di sejumlah planet pasca runtuhnya peradaban manusia di Bumi?

Purbaendah mengira surga itu hanya ada di kahyangan. Bukankah surga, kalau yang dimaksud kemakmuran, masyarakat tidak berkekurangan bisa diciptakan di Bumi? Itu hanya soal tekad dan kerja keras saja.  Bukankah yang sekarang terhampar di Cupu Mandalayu sudah bisa berkecukupan? Tidak ada perkelahian memperebutkan pangan atau harta di sini.  Itu kesan aku dari cerita Purbasari.

Teknologi kalau dimanfaatkan dengan baik bisa meniadakan konflik, karena sumber daya yang diperebutkan bisa diperoleh semua orang.  Aku yakin kalau kebutuhan dasar semua manusia terpenuhi maka konflik atas nama apa pun bisa diminimalisir.

"Bagi aku surga itu sudah ada di Cupu Mandalayu. Ini yang aku inginkan untuk Negeri Pasir Batang. Negeri yang mencukupi kebutuhan sendiri.  Kalau berlebih bisa membantu negeri lain," papar dia. "Terima kasih Kakang Guru Minda atas bantuannya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun