Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Sarah dan Zaenab: Citra Perempuan "Hikayat Si Doel"

29 Januari 2020   00:01 Diperbarui: 29 Januari 2020   14:39 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adegan dalam Akhir Kisah Cinta Si Doel-Foto: CNN

Zaenab menolak untuk diduakan, walaupun sebenarnya secara agama poligami adalah salah satu jalan. Dia pun dalam keadaan hamil, ketika menghadapi dilema ini dan akhirnya membuat keputusan yang cukup berani bagi seorang perempuan Timur-bentuk perlawanan yang paling terhormat.

 "Saya mohon izin untuk pulang ke rumah Enyak Ipah, Bang. Zaenab tidak sanggup hidup di rumah ini jika hanya menjadi bayang bayang cinta Abang dengan Sarah," kata Zaenab.

Kalau sampai berpisah dalam keadaan hamil, tentu ada stigma: dosa. Tetapi jadi pertanyaannya saya apakah Zaenab mampu menjadi single parent? Mungkin, dalam etnik apa pun termasuk Betawi: jadi single parent hal yang biasa.

Dalam salah satu adegan "Akhir Kisah Cinta Si Doel" tokoh Munaroh, salah satu cinta masa lalu Mandra mewakili sosok itu. Munaroh adalah perempuan yang mandiri membesarkan anak perempuannya yang secara tak sengaja jadi penumpang ojek Mandra. Dia bercerai dengan suaminya dengan alasan salah lelaki.

Di akar rumput, emansipasi perempuan sudah berjalan. Sejak dulu. Emansipasi perempuan jadi persoalan perempuan kalangan menengah atas, terutama sejak masa kolonial.

Si Doel pun tersudut. Sekalipun Sarah memberikan jalan keluar: tandatangani surat cerainya. Masalah Doel junior-yang namanya sama-menghendaki berkumpul kembali. Makin rumit, karena orang-orang di rumahnya, juga terbelah.

Mandra yang oportunis: Pilih Sarah, biar kehidupan ekonomi keluarga bisa berubah. Bukannya belajar menjadi wirausaha yang ulet, sekolah lagi, tidak mengandalkan kos-kosan, seperti diperlihatkan di salah satu adegan film.

Gambaran ekonomi sebagian masyarakat Betawi yang pragmatis, membuat mereka terus termarjinalisasi melekat pada Mandra dalam film ini. Cukup puas dengan jadi tukang ojek, pada awal film ini juga digambarkan lewat atraksi silat, membuat kerak telor, ya begitu-begitu saja selama berabad-abad, tanpa inovasi. Tentu perlu diskusi dalam tulisan lain soal masyarakat Betawi ini.

Kembali ke soal Sarah dan Zaenab, di keluarga Si Doel Atun memilih sebagai Tim Zaenab dengan pertimbangan pengabdiannya pada Mak Nyak yang begitu tulus. Sebagai catatan Atun juga adalah perempuan yang mandiri jadi "single parent" dengan berjualan kue.

Lebih lanjut lagi-walau mungkin saya "lebay" (kata anak sekarang), saya memandang Sarah adalah simbol (budaya) global, sementara Zaenab adalah simbol masyarakat lokal yang gelisah menghadapi tekanan global. 

Dalam arti luas bukan bermaksud membenturkan Islam dan Barat seperti thesis Huttington. Karena ada juga muslim yang global. Perempuan berhijab namun dengan busana muslimah bergaya Milan atau Paris, tetap menutup aurat, umumnya berpendidikan tinggi, berkarir dan juga mandiri secara ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun