Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ekonomi Jawa Barat 1964, antara Kampanye dan Realita

12 Oktober 2019   23:48 Diperbarui: 14 Oktober 2019   16:11 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung tempo dulu-Foto: Agus Sachari, Halo-Halo Bandung. ISTIMEWA

Bram M Darmaprawira, seorang jurnalis Pikiran Rakjat dalam sebuah tulisannya, menggambarkan Pameran Pembangunan Jawa Barat yang digelar pada Agustus hingga September 1964 selama tiga minggu.

Pameran yang ingin menunjukan kemajuan pembangunan di Jawa Barat ini  menempati areal Kompleks Lapangan Gelora, lapangan eks Jaarbeurs, serta Taman Maluku. Bangunan-bangunannya serba artistik.

Panitia meyakini pameran ini  lebih baik dari Pekan Industri maupun Braga Festival yang diadakan berapa tahun sebelumnya. Dalam pameran ini sekitar 300 unit stand (termasuk 15 paviliun besar) dibangun dengan tembok batak\\o tanpa meninggalkan segi artitstik, dengan areal 12 ribu meter persegi.

Para peserta datang dari industri sandang, industri tambang, industri dasar, kehutanan, kehewanan, kerajinan, PDN, Perusahaan Dagang Swasta, Angkatan Bersenjata, Ilmu Pengetahuan  hingga kehadiran TVRI yang sudah memulai siarannya.

Pertunjukan Hiburan hingga gerai kuliner dihadirkan di Taman Maluku, sementara Sporthall Saparua digunakan untuk pertunjukan kesenian.

Tujuan diadakan pameran yang kental dengan semangat Dwikora ini  ingin memperkuat homefront dan menunjukan dunia  yang sedang berevolusi bahwa dalam bidang ekonomi sanggup berdiri di atas kaki sendiri.

Sementara masyarakat mengharapkan Pameran Pembangunan Jabar mendorong gairah melipatgandakan hasil produksi keperluan hidup yang serba minim, memikirkan jalan keluar dari kesulitan ekonomi  yang diderita rakyat saat ini.

Pandangan umum tidak mengharapkan pameran ini menjadi ajang barang-barang yang jauh dari daya beli masyarakat dan bukan terpampang reklame yang melelehkan air liur. Pikiran Rakjat edisi 2 September 1964 malah mengungkapkan pengunjung tidak antusias terhadap stan yang memperlihatkan keberhasilan pembangunan Jawa Barat di bidang swasembada sandang pangan.

Stan yang ramai dikunjungi stan yang menyajikan produk kerajinan keramik rumah tangga, seperti piring, gelas, cawan, ubin dan porselen. Pengunjung menurut laporan Pikiran Rakjat 1 September 196 tidak mempercayai bahwa keramik itu produk dalam negeri. Karena produk ini wujudnya artistik dengan warna yang indah.

Pengunjung juga lebih menyerbu stan yang menjual secara bebas barang kebutuhan sehari-hari seperti sabun cuci, baju kaos, handuk. Proyek pembangunan yang dipamerkan lewat poster dan reklame, sama sekali dilewatkan.

Para mahasiswa dan pelajar juga banyak yang hadir dan lebih suka menonton pertunjukan hiburan. Acara kesenian yang digelar di sporthall Gelora mempertunjukan juara passangiri dari Purwakarta, seperti Sumiati, Edeh Komariah dan Nining, Ubrug Cibaliung.  

Sementara di panggung terbuka di atas kolam Taman Maluku disajikan kesenian Sumedang, yaitu calung, sempiong, gong renteng, sekonga, kuncung dan gemyung.

Sebuah drama bernafaskan Dwikora bertajuk "Perempuan dan Perbatasan" karya Mayor Endang Rusmana juga menjadi salah satu pertunjukan pada awal September 1964 di Gelora Sporthall. Drama itu menceritakan perjuangan ganyang subversif asing yang mencoba menyelundup Indonesia.

Menjelang penutupan pesinden kondang masa itu seperti Titim Patimah dan Upit Sarimanah  tampil mengisi acara hiburan di Sporthall.  Faktor hiburan lebih berhasil memikat pengunjung daripada informasi tentang keberhasilan pembangunan ekonomi di Jawa Barat.

Kinerja Ekonomi Jabar 1956-1964
Pemerintah Provinsi Jawa Barat sendiri dalam buku laporan kinerjanya pada 1965 mengungkapkan bahwa jumlah perusahaan di Jabar meningkat dari 100.983 perusahaan dan 222.983 buruh pada 1956 meningkat menjadi 132.322 perusahaan dan 356.563 buruh pada 1964.

Pada 1956 jumlah perusahaan tekstil sebanyak 2.072 buah meningkat menjadi 5.527 buah pada 1964.  Pada 1964 ini jumlah perusahaan yang ada dan bekerja untuk satu shift saja, sekitar 7 jam, maka seluuh kebutuhan tekstil Jabar sebetulnya sudah bisa dipenuhi.  

Namun buku itu juga mengakui pertekstilan adalah proyek nasional, maka produksi Jabar disalurkan ke daerah lain, terutama sarong tenon Majalaya, Bandung dan Garut digemari konsumen di luar Jawa.

Pemintalan Nupiksa Yasa di Bandung berkekuatan 8.000 spindel, pabrik Cipadung telah selesai sekitar 70 persen dan dimulai pembangunan pemintalan Banjaran dengan kekuatan sekitar 30 ribu spindel.  

Pihak swasta turut pula berusaha dalam menyediakan bahan baku tenun dengan kekuatan 10 ribu spindel.

Industri kerajinan rakyat pada 1957 sekitar 61 ribu perusahaan, pada 1959 menjdi 70.500 dan 1964 menjadi sekitar 77 ribu perusahan  berupa anyaman, gerabah dan barang dari tanah ukiran dari kayu dan pandai besi. Kerajinan anyaman terutama pembuatan tudung dari Tasikmalaya/Rajapolah dan Tangerang.

Kerajinan seni hanya terdapat di Bandung saja dan produknya bermutu tinggi dan mendapat penghargaan, banyak dibeli oleh wisatawan dalam dan luar negeri.

Namun apabila dirinci, maka tidak semua usaha berkembang mengembirakan. Jumlah usaha susu berjumlah  31 dengan 360 buruh dengan produksi 700 ribu liter per tahun pada 1956. Jumlah perusahaan meningkat menjadi 32 perusahaan dengan 345 buruh dan produksi  976.765 liter dalam 1964. 

Untuk jenis usaha roti dan kue pada 1956 terdapat 1.260 usaha dengan  4.219 buruh dengan produksi 15 juta. Pada 1964 jumlah usaha memang meningkat menjadi 1.927 usaha dengan  5.337 buruh, namun produksinya hanya 15,07 juta.

Jumlah usaha meningkat tetapi produksi menurun juga terjadi pada kecap di mana terdapat 558 perusahaan, 1.249 buruh dan produksi 3,8 juta liter pada 1956.  Jumlah usaha meningkat menjadi 624 unit dengan 1.500, tetapi produksi menurun 3 juta liter pada 1964.

Ada juga sejumlah jenis usaha yang merosot, baik jumlah, tenaga kerja maupun produksi. Tempe, misalnya pada 1956 mencatat 683 usaha dengan 1.467 buruh, serta produksi 4.274.155 kg, meorosot menjadi 673 perusahaan, 1.083 buruh dan produksi 2,5 juta kg pada 1964.  

Industri rokok kretek juga turun dari 36 perusahaan, 480 buruh dengan produksi 66.875.590 kg pada 1956, menjadi 31 perusahaan, 244 buruh dan produksi hanya 26 juta kg pada 1964.  Kemerosotan yang mencolok pada kerajinan payung, yaitu 892 usaha, 2.093 buruh dan produksi 1,8 juta buah pada 1956 merosot tinggal 744 usaha, 1.973 buruh dan 500 ribu buah.

Jumlah pengusaha otobis pada 1956 sebanyak 219 pengusaha, 148 trayek, 779 otobis, 2.577 ritten mengangkut 90.195 penumpang sehari dan 27.058.600 per tahun. Sementara pada 1964 sebanyak 269 pengusaha, 212 trayek, 933 otobis, 2.138 ritten dan 74.840 penumpang sehari dan 22.449 000 penumpang pertahun. Tarif angkutan umum Rp 0,12 per penumpang per kilometer menjadi Rp2,40.

Untuk pertanian, dalam buku tersebut diungkapkan produksi padi sawah pada 1956 menghasilkan 3, 34 juta ton dan padi gogo (padi ladang/lahan kering)) sebesar 113, 4 ribu ton.  Pada 1964 mencapai 3, 96 juta ton untuk padi sawah dan 391,6 ribu ton untuk padi gogo.   Sementara lahan jagung meningkat dari luas 76.178 hekatare dengan hasil 78.525 ton pada 1956 menjadi 245.303 hektare pada 1964 namun hasilnya hanya 34.998 ton.

Sementara untuk komoditas ekspor justru terjadi kemerosotan. Pada 1956 komoditas kina menurun dari 1.731 ton menjadi 800 ton pada 1962.  Sementara pada tanaman teh apabila pada 1956 menghasilkan 28.504 ton merosot menjadi 24 ribu ton pada 1962.  Begitu juga pada tanaman karet menghasilkan 49.698 ton pada 1956 melorot menjadi 38 ribu ton pada 1962 (buku itersebut tidak menyebut data 1964).

Konflik Agraria
Kuartal terakhir 1964 juga ditandai konflik agraria, tampaknya  terkait euforia dari ditetapkannya UU Landreform. Di antaranya, peristiwa kerusuhan antara pegawai kehutanan dengan petani di daerah Pasir Ipis, Majalengka, pada 9 September 1964.  

Sekitar 800 demonstran menggiring 4 pegawai kehutanan kemudian diserahkan kepada polisi setor Jatitujuh, karena ketidkapuasan terhadap rencana Tumpangsari di lingkungan kehutanan Cibenda dan Jatibarang,

Pada September itu juga di Ciamis, tanah seluas  12 hektare milik perkebunan karet swasta digarap 22 petani  tanpa izin.  Mereka kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman 2 hingga 3 bulan penjara.  

Setelah naik banding dapat 3 bulan penjara, kecuali seorang yang mengembalikan tanahnya kepada pemiliknya.

Persoalan tanah terjadi di Desa Ganderag, Buahdua, Sumedang antara pengangon dan penggarap tanah. Tanah yang luasnya 281 hektare awalnya tanah pengagon. Kemudian tanah tersebut ditanami 500 penduduk setempat dan menyebabkan terlantarnya tiga ribu hewan yang biasa makan rumput di sana.

Sampai pemiliknya harus mencari rumput ke daerah Indramayu. Pemda sebetulnya sudah memberikan keuptusan bahwa tanah itu harus dikembali kepada pengangon setalah panen  tahun itu, namun keputusan itu tidak ditaati oleh petani. 

Yang paling gawat di Jawa Barat ialah, kerusuhan di Indramayu selama dua hari di Desa Kerticala dan Desa Tugu di Kewedanaan Jatibarang, Indramayu pada Oktober 1964. Konflik ini melibatkan 4 ribu demonstran dengan pegawai kehutanan. 

Dua pegawai kehutanan mengalami luka berat luka berat, karena penganiayaan yang  diduga dilakukan orang Barisan Tani Indonesia (BTI).  Segera juru  Afandi juru bicara BTI Jawa Barat menyatakan penyesalannya.  

Sementara di daerah Bandung dan sekitarnya pelaksanaan landreform aman dan damai. Pada September 1964, sebanyak 4,271 petani di daerah Kabupaten Bandung mendapat bagian tanah yang upacara pembagiannya akan dilakukan hari ini di lapangan Cisalengka.  

Pembagian tanah kelebihan terebut diadakan dalam rangka Hari Tani Nasional di Dati II Bandung.  Sedangkan tanah yang dibagikan seluas 1.156 hektare,

Dalam pelaksanaan Undang-undang Landreform di daerah ini telah ada sebanyak 5.994 petani  yang telah mendapat bagian tanah dengan jumlah tanah seluas 1.762,25 hektare.  Sedangkan ganti rugi yang telah dikeluarkan dalam pelaksanaan Undang-undang seluruhnya meliputi Rp49.683.669,38.

Sementara akhir September Wali Kota Bandung Prijatnakusumah selaku Ketua Landreform berhasil membagikan hak garap tanah kelebihan seluas 6.014 hektare  kepada 15 orang penggarap.

Ekonomi Kota Menjelang Akhir 1964
Yang menarik untuk Kota Bandung sendiri penghasilan yang bagus, justru dari pajak tontonan. Pemerintah Kotapraja Bandung memperoleh pajak ini pada 1964 diperkirakan mencapai Rp48 juta dan merupakan pajak penghasilan tertinggi selama 1964.  

Kotapraja Bandung memperoleh penghasilan pajak dari tontonan, pembangunan perusahaan dan pajak kendaraan sebesar Rp143 juta  Dalam tahun 1963 pajak tontonan sekitar Rp27 juta.  Tampaknya warga kota haus hiburan di tengah kesulitan ekonomi.

Pada Oktober-November 1964 krisis bensin kembali melanda Kota Bandung. Harga bensin di pasar bebas  mencapai Rp1.800 dan Rp2.000 per jerigen.  

Sebanyak  250 kios di Kota Bandung menjual bensin murni dengan harga tinggi, bukan bensin campuran saja,  Harga resmi bensin itu  sebetulnya Rp400 hingga Rp500  per jerigen.  Ancaman dari aparat penyelewengan bensin dikatakan subversi ekonomi tidak digubris.

Akibatnya tarif oplet alun-alun bandung ke Cicadas naik dari Rp25 menjadi Rp50.  Rute Suniaraja-Surapati Rp35 naik jadi Rp50.  Bandung-Cimahi Rp50 naik jadi Rp75.  

Begitu juga dengan tarif angkutan umum keluar kota, Suburban Bandung-Tasikmalaya Rp700 menjadi Rp.1000.  bandung-Jakarta Rp2.500 menjadi Rp4.000.

Kenaikan bensin memberikan dampak bagi kenaikan bahan pokok, seperti beras naik dari Rp280 menjadi Rp300 per kilogram.  Pemerintah Kota baru bisa mengatasi krisis ini pada pertengahan November 1964 dengan penyaluran bensin mulai normal, 240 ton dari instalasi Stanvac dan 200 ton dari Shell.

Menurut cerita ibu saya yang tinggal di Bandung pada 1963-1965, yang lebih mendesak ialah minyak tanah. Untuk mendapatkannya di warung pembeliannya harus melalui takaran.  

Keterangan ini pas dengan apa yang diungkapkan sejarawan Unpad Nina Herlina Lubis  bahwa untuk memperoleh beras dan minyak tanah masyarakat harus antri mendapatkannya.

Pikiran Rakjat 25 Juni 1964 mengakui kesulitan minyak tanah dan bensin merupakan masalah yang sudah kronis. Ada upaya menyalurkan jatah minyak tanah melalui Koperasi Serba Usaha Desa sebanyak seribu ton. Namun penyaluran menghadapi kendala pengangkutan dari Jakarta ke Bandung, hingga hanya 200 ton terangkut.

Namun persoalan yang paling utama ialah sandang pangan. Trisna Juwana dalam kolomnya bertjuk "Todongan Malam Minggu:  Sandang Pangan" mengungkapkan bahwa kehidupan rakyat semakin sulit, untuk memperoleh sandang dan pangan. Sekalipun bagi orang kaya tidak sulit. 

Selama periode 1956 -- 1964, Soekarno mencanangkan program swasembada beras melalui Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP).  Namun di sisi lain Soekarno juga menolak impor beras untuk melepaskan ketergantungan Indonesia pada negara asing. 

Sayangnya penolakan impor itu tidak diimbangi dengan peningkatan produksi yang cukup. Akibatnya pada1963 Indonesia mengalami kelangkaan beras.

Pada pertengahan Oktober 1964 Sukarno menginstruksikan kepada Menteri/Jaksa Agung untuk mengambil langkah-langkah penertiban  terhadap pembicaraan  yang dapat meruncingkan keadaan khususnya masalah beras.

Kongres Wanita Indonesia ke X di Jakarta sendiri pada akhir Juli memutuskan agar segenap wanita Indonesia mengubah menu yang bersifat feodal menjadi menu yang bersifat revolusioner, seperti jagung dan ubi. 

Kenyataannya seruan Kowani tidak ada pengaruhnya. Orang-orang tetap mau beras dan karena beras  mahal harganya, orang tetap membicarakannya (Anwar, 1980, hal 476).

Anjuran pemerintah agar beralih ke bahan  pokok jagung, sebetulnya sudah jalan di berapa daerah. Misalnya ada seorang pedagang warung nasi jagung dengan sayur lodeh bernama Haji Abdurahman di Tasikmalaya. Pelanggannya tukang becak, anak sekolah hingga pegawai negeri. Dia mampu meramu nasi jagung dengan sayur lodeh. 

Pemberitaan soal warung itu dimuat di Pikiran Rakjat edisi 12 Maret 1964. Trisna  sendiri mengkritisi bahwa jagung tidak bisa diberikan pada anak kecil, karena membuat masuk jagung keluar jagung. Kecuali direbus empuk.  

Seorang penulis dari Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) Bandung Soemarni pada Pikiran Rakjat 17 Maret 1964 mengungkapkan bahwa beras mengandung 80 pesen karbohidrat, sementara jagung 78, 4 persen. Namun jagung disebutnya mengandung protein 7,1% dibanding bera 6,9 persen.

Trisna dalam tulisannya mengatakan, orang-orang kaya tidak merasakan kesulitan hidup. Mereka bukan saja cukup sandang dan pangan, tetapi juga kemewahan. Mereka mampu membeli televisi, menikmati pertunjukan hiburan dan perjalanan wisata yang ramai ditawarkan biro perjalanan.

Hal ini juga diungkapkan Yahya A Muhaimin dalam bukunya bahwa pengusaha swasta yang bertahan ke dalam usaha impor dengan memupuk hubungan dengan patron politik. 

Walaupun pemerintah menetapkan tarif bea dan cukai yang begitu tinggi, namun permintaan terhadap barang impor begitu besar (Muhaimin, 1991, halaman 113).

Bahkan perbedaan mencolok antara mereka yang kaya dan yang miskin juga terjadi pada kanak-kanak memberikan dampak yang lain. Kejahatan anak-anak di Kota Bandung meningkat selama Oktober 1964 tercatat 12 perkara, padahal sebelumnya hanya 6 perkara (selama Januari hingga September).  

Anak-anak orang kaya jajan berlebihan dan membuat anak orang miskin melakukan pencurian. Para pencuri kecil ini dikirim ke LP  Anak-anak  di Tangerang. 

Pada pertengahan Oktober itu juga sebanyak  277 tuna karya dan tuna wisma ditampung Jawatan Sosial. Berbeda dengan razia sebelum gelandangan warga luar Bandung, kali ini sudah terdapat warga asli Bandung, dari daerah Sukajadi.  

Kemiskinan yang tadinya di perdesaan dan melakukan urbanisasi ke kota, kini juga menimpa warga kota yang sudah turun temurun.

Ada pernyataan menarik dari Trisna Juwana dalam kolomnya berjudul "Sandang Pangan" tersebut.

"Enak ya, yang hidup mewah sandang pangannya, namun tetap revolusioner".

Irvan Sjafari

Sumber  Primer: Pikiran Rakjat Agustus, September, Oktober, November 1964

Sumber sekunder: 

  • kbr.id diakses pada 11 Oktober 2019.
    Anwar, H Rosihan, Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965, Jakarta: Sinar Harapan, 1980
    Badan Koordinasi Pembangunan Daerah Tingkat I Djawa Barat, Sejarah Perkembangan Daerah Djawa Barat Tahun 1945-1964, terbitan 1965.
    Lubis, Nina Herlina, Sejarah Tatar Sunda 2, Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, 2003
    Muhaimin, Yahya A, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Eknomi Indonesia 1950-1980, Jakarta LP3ES, 1991.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun