Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ekonomi Jawa Barat 1964, antara Kampanye dan Realita

12 Oktober 2019   23:48 Diperbarui: 14 Oktober 2019   16:11 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung tempo dulu-Foto: Agus Sachari, Halo-Halo Bandung. ISTIMEWA

Sebanyak  250 kios di Kota Bandung menjual bensin murni dengan harga tinggi, bukan bensin campuran saja,  Harga resmi bensin itu  sebetulnya Rp400 hingga Rp500  per jerigen.  Ancaman dari aparat penyelewengan bensin dikatakan subversi ekonomi tidak digubris.

Akibatnya tarif oplet alun-alun bandung ke Cicadas naik dari Rp25 menjadi Rp50.  Rute Suniaraja-Surapati Rp35 naik jadi Rp50.  Bandung-Cimahi Rp50 naik jadi Rp75.  

Begitu juga dengan tarif angkutan umum keluar kota, Suburban Bandung-Tasikmalaya Rp700 menjadi Rp.1000.  bandung-Jakarta Rp2.500 menjadi Rp4.000.

Kenaikan bensin memberikan dampak bagi kenaikan bahan pokok, seperti beras naik dari Rp280 menjadi Rp300 per kilogram.  Pemerintah Kota baru bisa mengatasi krisis ini pada pertengahan November 1964 dengan penyaluran bensin mulai normal, 240 ton dari instalasi Stanvac dan 200 ton dari Shell.

Menurut cerita ibu saya yang tinggal di Bandung pada 1963-1965, yang lebih mendesak ialah minyak tanah. Untuk mendapatkannya di warung pembeliannya harus melalui takaran.  

Keterangan ini pas dengan apa yang diungkapkan sejarawan Unpad Nina Herlina Lubis  bahwa untuk memperoleh beras dan minyak tanah masyarakat harus antri mendapatkannya.

Pikiran Rakjat 25 Juni 1964 mengakui kesulitan minyak tanah dan bensin merupakan masalah yang sudah kronis. Ada upaya menyalurkan jatah minyak tanah melalui Koperasi Serba Usaha Desa sebanyak seribu ton. Namun penyaluran menghadapi kendala pengangkutan dari Jakarta ke Bandung, hingga hanya 200 ton terangkut.

Namun persoalan yang paling utama ialah sandang pangan. Trisna Juwana dalam kolomnya bertjuk "Todongan Malam Minggu:  Sandang Pangan" mengungkapkan bahwa kehidupan rakyat semakin sulit, untuk memperoleh sandang dan pangan. Sekalipun bagi orang kaya tidak sulit. 

Selama periode 1956 -- 1964, Soekarno mencanangkan program swasembada beras melalui Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP).  Namun di sisi lain Soekarno juga menolak impor beras untuk melepaskan ketergantungan Indonesia pada negara asing. 

Sayangnya penolakan impor itu tidak diimbangi dengan peningkatan produksi yang cukup. Akibatnya pada1963 Indonesia mengalami kelangkaan beras.

Pada pertengahan Oktober 1964 Sukarno menginstruksikan kepada Menteri/Jaksa Agung untuk mengambil langkah-langkah penertiban  terhadap pembicaraan  yang dapat meruncingkan keadaan khususnya masalah beras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun