Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Persahabatan" Saya dengan PKL dan Polemik Pelebaran Trotoar

7 September 2019   16:14 Diperbarui: 9 September 2019   13:11 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mungkinkah arah Kebijakan Gubernur Anies Baswedan seperti ini? -Foto: Dokumentasi Pribadi.

Harga makanan kaki lima di samping bangunan dan di sejumlah spot di jalan masuk jauh di atas yang mangkal di trotoar Jalan Sabang. Harganya minimal bisa menembus Rp 30 ribu, ditambah minum jauh di atas budget makan siang saya Rp 20 ribu plus minum. Yang saya amati di sebagian spot sepi.

PKL memang identik dengan mereka yang berdagang di trotoar atau pinggir jalan. Mereka sebetulnya bagian dari pelaku Usaha Kecil Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang juga butuh pasar.

Dengan demikian kalau memang perlebaran trotoar ini adalah kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang salah satunya mengakomodasi pedagang kaki lima, maka saya mendukungnya.

Kalau soal bertentangan dengan regulasi, ayo regulasi dikaji kembali apakah regulasi itu lebih banyak manfaatnya atau mudaratnya. Kecuali kalau masalah pengangguran bisa dipercahkan dengan cara lain. Ini kan nggak? Mengakomodasi PKL itu salah satu solusi yang paling murah, paling bersahabat, dan punya multifungsi.

Tentu PKL tidak semua seperti sahabat-sahabat saya di Jalan Sabang atau di Cinere dan Depok. ada juga pengalaman menyebalkan.

Saya pernah punya pengalaman dipaksa membeli produk krim kulit di Stasiun Depok Baru. Saya dicegat oleh seorang pedagang kaki lima penjual produk krim kulit, krim dioleskan, lalu disuruh beli. Kalau menolak, dibilang tidak sopan. Sudah saya tandai lokasi itu.

Tetapi itu sepuluh tahunan yang lalu, ketika Stasiun Depok Baru masih padat. Sekarang tidak saya temui lagi.

Selain itu PKL juga mempunyai kesadaran akan pentingnya menjaga kebersihan demi menjaga citra mereka sendiri. Mereka menyediakan kantung sampah hingga tidak ada yang tercecer di jalan dan membungkusnya dengan rapi hingga mudah diangkut petugas kebersihan.

Kelemahan lain PKL ialah usaha mereka kerap sama. Saya pernah di Jalan Gunung Sahari, malam hari hanya ada warung nasi uduk. Apa mungkin penggemar nasi uduk banyak? Sementara gampang memasak seperti tukang nasi goreng?

Meskipun demikian adanya PKL kuliner malam hari di Jalan Gunung Sahari membuatnya suasana tidak sepi hingga tidak menakutkan untuk berjalan kaki.

Kesimpulannya keberadaan PKL masih banyak sisi positifnya. Mereka hanya mungkin merepotkan para pemilik mobil di lokasi tertentu karena macet. Tetapi dampak yang mereka buat sebetulnya lebih mudah diminimalisasi, daripada gedung-gedung bertingkat yang menyedot air tanah dan membuat tanah turun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun