Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bandung 1964, Kericuhan di Awal Pembangunan Terminal Bus Kebon Kelapa

20 April 2019   16:21 Diperbarui: 21 April 2019   01:18 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Terminal Kebon Kelapa setelah pembangunan ITC Kebon Kelapa-Foto: Wisata Bandung

"Pedagang-pedagang kecil di Pasar Pungkur semakin terjepit hidupnya, bukan saja suasana pasar yang semakin sepi, kebersihan yang kurang mendapat perhatian yang berwajib, juga banyak pedagang-pedagang yang tertipu oleh permainan pihak tertentu," ujar Surjana.

Menurut Surjana setelah dibuatnya benteng tinggi yang mengelilingi PasarPungkur itu, maka hubungan antara kedua pasar itu putus. Pembangunan jalan berdampak pada tidak adanya jalan keluar dan pembuatan tempat kotoran. Para pedagang sudah mengajukan permintaan ke Kotapraja Bandung namun tidak ada perhatiannya. 

"Pasar Pungkur bukan lagi pasar pangan,akan tetapi tempat yang dapat menimbulkan penyakit-penyakit berbahaya," kata Surjana.

Para pedagang yang telah meluap amarahnya, pernah membongkar benteng dan membuat sendiri jalan keluar, tapi kemudian ditutup kembali oleh NV Asia Motor.

Para pedagang pernah mengirim delegasi untuk enghadap Wali Kota Bandung Prijatna Kusumah. Dan wali kota sendiri membenarkan bahwa Pasar Pungkur akan dibongkar dansebagai gantinya dibangun pasar bertingkat yang pendirannya disewakan kepada CV Sekawan. Surjana menyebut dalam pertemuan wali kota mengirim peninjau-peninjau ke Pasar Pungkur, namun belum dilaksanakan.

Beberapa pedagang Pasar Pungkur yang dihubungi Pikiran Rakjat menyatakan bahwa 25 pedagang pernah mendapat izin dagang di depan pasar itu, dengan uang "anti gaet" sebesar Rp14.500.

Tapi ternyata walaupun mereka tiap hari membayar karcis, terus juga digaet (diusir)petugas-petugas kotapraja. Memang izin ini tanpa surat resmi , tetapi petugas yang minta uang itu menjanjikan tidak akan diganggu.

Demikian juga halnya pendirian kios-kios, beberapa pedagang telah menyerahkan uang sekitar Rp10 hingga Rp50.000, yang katanya atas permintaan Petugas Pasar lewat Ek, seorang pembantunya.

Tapi, setelah dibangun ternyata digaetnya juga dan sewaktu para pedagang merasa dirugikan datang kepada Kepala Pasar hanya mendapat jawaban: Oh, begitu.

Padahal uang yang dipergunakan sebagai "uang anti gaet" itu berasal dari pinjaman dengan bunga 10 persen yang bunganya dibayar.

Para petugas itu terus menagih walau tempatnya telah diobrak-abrik, karena katanya utang telah ditinggal utang. Sampai sekarang tidak kurang dari Rp175.000 telah diterima petugas pasar melalui Ek itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun