Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Tabu" dalam Film Horor, Fiksi, dan Realita Budaya

19 Januari 2019   22:46 Diperbarui: 19 Januari 2019   23:09 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adegan dalam Tabu: Mengusik Gerbang Iblis-Foto: Star Vision.

Enam remaja masih mengenakan seragam SMA, menumpang sebuah mobil yang dikemudikan oleh salah seorang di antara mereka menembus keheningan alam dari Jakarta menuju Leuwueng Hejo, kawasan hutan yang kondang dengan keangkerannya.  Tujuannya bukan hanya berkemah, tetapi juga membuat  video untuk keperluan vlogger agar eksis di jagat maya.

Diaz (Angga Yunanda) mengingatkan kepada kawan-kawannya agar selama di tempat itu tidak melanggar hal-hal yang  tabu,  di antaranya berisik, mengumpat, membuang sampah sembarangan, tidak mengambil sesuatu dalam hutan itu.  

Bisa ditebak, beberapa di antara mereka melanggar larangan itu.  Ada yang mengucapkan sumpah serapah, ada yang membuang bekas pembalut, bahkan ada yang  mengambil sesuatu. Akibatnya  Diaz mengalami kesurupan, bertemu nenek yang menyeramkan, hingga anak kecil yang tunawicara.

Keyla (Isel Frirsella) malah  membawa anak kecil ke Jakarta.  Berbagai hal yang menyeramkan hingga petaka yang  merengut jiwa dua di antara mereka terjadi.  Kemudian mereka yang masih hidup menyadari  bahwa  mereka sudah membuka gerbang bagi penghuni dari alam  gaib yang tadinya terkunci di Leweung Hejo untuk keluar.

Di sisi lain Keyla mempunyai rahasia keluarga yang kelam berkaitan dengan anak kecil dan Leuwueng Hejo.  Hal yang sama juga dirasakan Oma dari Diaz (Laksmi Notokusummo), yang juga punya kaitan dengan hutan keramat itu. Bahkan Sang Oma sudah siap tempur.

Dari plot ceritanya,  Tabu: Mengusik Gerbang Iblis  tergolong "old school horor" yang  kini sedang tren, setelah keberhasilan Pengabdi Setan, diikuti Asih.  Seperti halnya film horor klasik era  1970-an hingga 1980-an, ciri khasnya adanya arwah jahat, mahluk astral, orang kesurupan hingga hadirnya praktisi spiritual  yang bertugas mengusir para "alien" dari  dimensi lain itu.  Di dunia Hollywood The Exorcist (1973)  menjadi ikon film horor jenis ini. 

Dalam film "old school horor", penonton disuguhi adegan menakutkan tanpa jeda, yang membuat harus menahan nafas dan jujur saya juga dibuat takut dan tidak bisa menebak bagaimana akhir dari film yang disutradarai oleh Angling Sagaran dan diproduseri oleh Chand Parwez.  

Beberapa adegan seperti orang keserupan melayang ke udara hal yang  biasa bagi sinematografi film  kategori ini.  Saya tidak terlalu terkesan. Kesurupan massal  di sekolah, mungkin  berpijak  pada berapa kasus  yang pernah terjadi  dan diberitakan merupakan terobosan dari  pakem itu  agar tidak terkesan klise. 

Ruangan rumah  Diaz  yang berubah menjadi hutan belentara mengingatkan saya pada Jumanji,  sebuah film  fantasi  Hollywood. Namun bagaimana pun juga merupakan sebuah terobosan. Namun adegan yang paling seram menurut saya  ialah adegan di rumah Keyla, karena yang  diteror adalah Sang Ibu (Mona Ratuliu) yang sebetulnya tidak terkait dengan perbuatan anaknya.  

Terlepas dari akhir yang tidak  saya suka,  tapi bagi penggemar film horor akan terpuaskan  dahaganya. Bagi saya yang melegakan adalah  tidak kembali muncul adegan perempuan muda sedang mandi, film horor Indonesia  1990-an. 

Sinematografi  tidak terlalu bermasalah, walau seperti kebanyakan  film horor Indonesia selalu ada lubang,  seperti mengapa sekolah dan polisi menganggap kematian dua murid satu sekolah berturut-turut sebagai hal yang serius.

Yang paling membuat kening saya berkerut para remaja itu pergi berkemah dan mendaki gunung dengan pakaian SMA-walau di tempat kemah berganti. Di tempat berbahaya tidak ada seorang pun penjaga hutan.  Jelas ada papan larangan masuk yang ditabrak.  

Dari departemen kasting,  Chand Parwez merekrut wajah baru mulai dari sutradara maupun bintang muda kelahiran 2000-an bertujuan untuk memberikan energi baru bagi perfilman Indonesia. Hasilnya memang para pelaku memang pas untuk tokoh anak SMA, dari segi wajah maupun gestur dan bahasa anak zaman sekarang.  Natural.      

Dari segi tema mengunjungi tempat keramat  dan membawa mahluk astral bukan hal yang baru, seperti film Alas Pati, juga berkaitan dengan tokoh-tokoh  generasi milenial, yang ingin membuat video agar eksis dan juga tempat keramat.  Polanya hampir sebangun para pelaku mengusik sesuatu dan membuat para mahluk astral itu ganti berkunjung menebar teror. 

Konyolnya, para pelaku di sejumlah adegan selalu sendirian di rumah yang besar, apa tidak ada orangtuanya, satpam? Tetangga yang terusik dengan bunyi  gaduh.  Ini kebanyakan film horor melupakan masyarakat kita masih banyak yang kepo (bahasa anak muda ingin tahu)  dan guyub, sekalipun sikapnya individualis.  

Untuk selanjutnya para sineas sepatutnya melakukan riset  yang  lebih dalam dalam mengangkat film horor berkaitan dengan legenda. Sekalipun ceritanya fiksi dan sekadar hiburan, tetapi  bisa menstimulus penonton, terutama generasi milenial untuk googling atau  ke perpustakaan.   

Gunung Hejo dan Budaya Tabu   

Sayangnya dalam Tabu: Mengusik Gerbang Iblis tidak dijelaskan  di mana persisnya Leuweung Hejo, kecuali disebut sekian jam dari Jakarta.  Faktanya mungkin tempat yang dimaksud kawasan di wilayah Kabupaten Purwakarta,  yang disebut Gunung Hejo yang berkaitan dengan cerita pertapaan Prabu Siliwangi.

Referensi tentang Gunung Hejo  yang menarik diungkapkan oleh Komunitas  Aleut yang tidak persis dengan apa yang ada dalam cerita film ini, misalnya melewati terowongan di bawah jalan told an ada titian anak tangga, sementara dalam film melewati jalan setapak kecil (1). 

Faktanya: kawasan itu dikeramatkan dan dijadikan tempat persugihan.  Hal yang sama juga dituturkan A Suryadi dalam bukunya Masyarakat  Sunda: Masyarakat, Budaya dan Problema,  bahwa Gunung Hedjo dianggap sebagai tempat munjung  (persugihan). 

Kalau soal  tabu  dalam  masyarakat  Sunda dituturkan dengan baik oleh  Edi S Ekadjati dalam bukunya Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah dengan mengacu pada masyarakat Kenekes yang percaya   bahwa ada tiga alam, Buana Nyungcung tempat bersemayam Sang Hyang Kersa  letaknya paling  atas, Buana  Panca Tengah tempat manusia dan mahluk lainnya, serta Buana Lareng, yaitu neraka.

Ada tiga tabu  yang tidak boleh dilanggar, yaitu tabu untuk melindungi kemurnian sukma manusia, tabu melindungi kemurnian mandala, di antaranya tidak mengusik tempat tertentu dan tabu melindungi tradisi (2).

Dalam referensi lainnya  tabu adalah larangan yang apabila dilanggar, secara serta merta menimbulkan sanksi negatif yang bersifat supranatural.  Disebutkan, ada  upacara babarit di Desa Buni Geulis, Kecamatan Ciniru, Kabupaten Kuningan. Tabu yang diterapkan dalam kegiatan ini adalah tatkala ada pementasan tari-tarian sebagai bagian dari upacara.

Pada saat ronggeng pertama kali nembang (menyanyi) dengan lagu saung kembang, sanggo lewang, tunggal kawung, dan raja pulang para penonton yang menghadiri pesta/ upacara tidak ada yang boleh menari. Menurut kepercayaan, pada saat ronggeng menyanyi itulah para dedemit atau leluhur desa Buni Geulis turut menari. upacara ini juga dimaksudkan sebagai upaya memohon izin kepada roh halus (demit, jurig, dan lain-lain) agar tidak mengganggu masyarakat Buni Geulis khususnya dalam bidang pertanian  (3).    

Chand  Parwez dalam sebuah  wawancara dengan awak media menyebutkan, film ini memberi pelajaran, di antaranya tidak meremehkan hal-hal yang dianggap tabu. Percaya atau tidak percaya, kearifan lokal memang harus menjadi pertimbangan  untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang di tempat itu. Membuang sampah di hutan jelas sudah merusak lingkungan hidup, terlepas  adanya kepercayaan atau tidak (Irvan Sjafari).

Catatan kaki:

  1.       https://komunitasaleut.com/2017/05/08/pengalamanku-ikut-ngaleut-gunung-hejo/
  2. Edi S Ekadjati, Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah: Bandung, 2005, halaman 62-66.
  3. https://bpsnt-bandung.blogspot.com/2009/07/tabu-dalam-kebudayaan-sunda.html

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun