Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menyimak Indonesia dari "Banda: The Dark Forgotten Trail"

9 Agustus 2017   00:20 Diperbarui: 9 Agustus 2017   16:27 976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Banda: The Dark Forgotten Trail" dibuka dengan gambar landscape Kepulauan Banda dari atas. Kemudian diikuti pembacaan narasi dari Reza Rahadian menceritakan sejarah kepulauan penghasilan rempah-rempah itu, komoditi yang mahal di seluruh dunia terutama pada abad 15 hingga 17. Pala pengawet makanan, penghangat tubuh, hingga status kekayaan.

Para pedagang China menyembunyikan rempah-rempah di bawah timbunan sutera. Para pedagang Arab menyebarkan kabar bohong tentang penduduk yang suka memotong kepala.

Bangsa Portugis dan Spanyol kemudian mencari jalan ke tempat rempah-rempah berasal. Bagi yang gemar membaca buku sejarah narasi mengungkapkan bahwa nama Banda sudah disebutkan dalam Negara Kertagama, Babad Tanah Jawi, hingga sebuah mitos "Langit menjatuhkan 99 buah keemasan" yang diyakini asal usul pala dan cerita kelompok lima (uli lima) dan kelompok sembilan (uli siwa).

Perjanjian Tordesilas pada 7 Juni 1494 hingga akhirnya Belanda menguasai Banda dengan cara yang keji sebetulnya bukan hal yang baru bagi mereka yang menyimak pelajaran sejarah bahkan tingkat SMA sekalipun.

Ilustrasi sejarah digambarkan dengan ilustrasi animasi peta kuno dengan cokelat sephia agar terkesan antik. Untuk urusan sejarah film yang disutradarai Jay Subiakto cukup padat, informatif dan berisi. Termasuk kisah pengasingan Hatta dan Syahrir, yang membuat dua dari sebelas pulau itu diabadikan dengan nama mereka.

Hanya saja saya baru tahu kalau Hatta dipanggil warga setempat sebagai Om Kacamata.

Selain bagian sejarah lewat narasumber sejarawan, ada juga menerangkan tentang tanaman pala dengan narasumber pemilik perkebunan. Informasinya menarik, misalnya pala yang bermutu itu yang kering setelah diasapkan. Kalau masih berair bisa berjamur. Masalahnya harga pala yang kering dan yang masih ada kadar airnya sama.

Film ini memberikan informasi komplit soal masyarakat Banda yang sudah "Indonesia" karena dulunya ada orang Jawa, Melayu, serta berbagai etnik lainnya yang didatangkan sebagai pekerja karena penduduk Banda sudah berkurang. Pulau itu meninggalkan sejak sejarah yang banyak sekali seperti dua belas benteng, rumah tempat Hatta dan Syarir tinggal. Harusnya bisa jadi wisata sejarah, demikian saya pikir.

Sinematografi untuk ilustrasi bagian budaya ini juga menarik dengan tari-tarian yang kalau memperhatikan dengan seksama ada berbagai unsur. Penggunaan anak-anak dengan obor, menjelajah situs bekas benteng, mungkin sebagai metafora bahwa sejarah Banda harus diwariskan pada generasi mudanya. Itu yang saya tangkap.

Hanya saja memang kekayaan gambar tidak bisa dibandingkan dengan "Earth" yang saya tonton sepuluh tahun lalu karena budgetnya beda. Namun bagi masyarakat awam saya kira sudah cukup. Kalau dihitung budget dengan hasil yang didapat saya kira maksimal.

Sekarang apa apresiasi penonton? Saya tidak masalah. Orang di sebelah saya asyik dengan WA-nya sejak pertengahan cerita, tetapi begitu cerita konflik Maluku muncul dia menyimpan kembali ponsel cerdasnya. Tujuh penonton meninggalkan ruangan sebelum film berakhir. Tapi saya intip di Filmindoensia.or.id penonton Banda menacapai 14 ribu, lumayan karena lebih tinggi dari "Earth".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun