Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Angkot Bertahan atau Punah?

7 Agustus 2017   21:57 Diperbarui: 8 Agustus 2017   13:55 3279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi angkutan umum/Foto: kompas.

Setelah Metromini tinggal menunggu waktu untuk menjadi sejarah menyusul oplet, helicak dan bemo, angkutan umum kota (angkot) berada dalam keadaan "survival for fittest" (meminjam istilah Charles Darwin), bertahan untuk cocok atau punah. Metromini -juga kopaja- memang harus tunduk pada kehendak zaman karena keberadaan Trans Jakarta, belum lagi MRT yang kalau tak ada aral melintang beroperasi pada 2019. 

Metromini, Kopaja dan sebetulnya juga angkot citranya kerap tidak baik karena ulah sejumlah oknum supir hingga persoalan internal manajemen. Sebagian dari trayek angkutan umum seperti PPD dan Kopaja sudah berintegrasi dengan Transjakarta dengan baik sebagai feeder dan merubah citra naik angkutan umum aman dan nyaman.

Sebetulnya yang saya amati angkutan umum harusnya juga bisa bertahan karena bisa mendapatkan limpahan penumpang dari Transjakarta pada titik tertentu, seperti KAB 61, Mikrolet 20 mendapat penumpang yang turun dari Halte Pertanian.

Ada juga angkot yang mengisi jalur yang tidak akan dilalui Transjakarta, seperti KWK 01 dari Pondok Labu hingga Blok M melalui jalur "kampung", jalur Benhill atau Karet menuju Roxy, jalur Ragunan ke Taman Mini atau Cijantung dan masih ada beberapa lagi.

Apalagi angkot di Depok, Bekasi dan Tangerang yang menghubungkan Jakarta dan pemukiman masih bertahan untuk waktu yang belum bisa diprediksi. Hanya manajemen koperasi masing-masing yang akan menentukan mereka bertahan atau punah.

Kalau manajemen perusahaannya bisa saja menahan diri tidak serakah dengan membatasi jumlah angkutan umum sesuai dengan jumlah penumpang, maka saya kira angkot tertentu di Jakarta dan pinggiran Jakarta bisa bertahan. Bahkan dengan keberadaan MRT dan kereta commuter pun angkot tertentu bisa sinergi. 

Sepeda Motor dan Ojek Daring

Hanya saja angkot punya tantangan lain. Awalnya hanya kemudahan orang bisa memliki motor tanpa uang muka sekalipun, membuat hitung-hitungan biaya jadi irit. Dengan bensin 2 liter, kawan saya yang berprofesi marketing mengaku bisa mengendarai sepeda motor dua hari dengan jangkauan dan waktu tempuh yang efesien. Kalau dengan angkutan umum biayanya bisa 2-3 kali lipat.

Kini angkot masih menghadapi keberadaan ojek online atau daring setahun ini populer seiring dengan kukuhnya smartphone dengan aplikasi beragamnya. Di beberapa kota di Jawa Barat supir angkot, ojek tradisional dan becak berdemo menuntut dilarangnya ojek daring.

Pemerintah Kota Tasikmalaya resmi melarang operasional ojek berbasis aplikasi di Kota Tasikmalaya dengan dalih belum memiliki izin sepertinya mengabulkan tuntutan itu (Pikiran Rakyat, 27 Juli 2017). Pemogokan juga terjadi di Sukabumi pada akhir Juli 2017 [1]. 

Pemogokan juga terjadi di Bogor, namun berkat mediasi yang dilakukan Wali Kota Bima Arya terjadi perdamaian dengan kesepakata, di antaranya Ojek online diminta tidak berkumpul menggunakan fasilitas umum untuk mengambil penumpang [2].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun