Yola tersenyum melihat Dhini ditemani seorang anak laki-laki kira-kira tiga tahun di atas usia anaknya. Keduanya sudah berbusana seperti warga koloni. Hanya saja keduanya berbusana hijau-hijau.
“Ini surga ya Lif? “ kata Yola.
Benar kawan. Kamu percaya kan perempuan pun disediakan bidadara?” celetuk Alif sambal melirik Dhini dan “kawannya” seorang anak laki-laki kira-kira tiga tahun di atasnya.
“Preek!” Yola tertawa kecil.
EMPAT PULUH SEMBILAN
Tempat tak diketahui waktu sekitar dua belas hari setelah serangan ke koloni.
Letnan Dua Christ Malcom menggerutu. Sebab hanya tinggal dia, seorang serdadu lain bule yang masih hidup dan dua serdadu loyalis Dhimas Harris yang masih hidup. Empat rekannya, dua dari Asia Tengah, satu Afrika, dan satu loyalis Dhimas tak berdaya. Kaki mereka masih diperban, walau sudah tidak mengeluarkan darah lagi.
“Kita dikalahkan anak-anak kecil. Siapa mereka Letnan?” ucap Sersan Winanda, loyalis Dhimas Harris.
“Skill mereka sama dengan kami. Mereka unggul karena menguasai medan,” sahut Christ Malcom.
“Pulau apa itu? Kita tadi delapan puluh orang, tinggal enam. Tiga puluh mati di kecelakaan sebelum tiba di pulau. Lebih dari empat puluh, termasuk Mayor James Arthur dan Kapten Harding tewas di pulau itu. Mereka punya pengalaman perang di timur tengah melawan militan puluhan tahun. Mustahil mati begitu saja di tangan anak kecil, perempuan lagi.”