Alif justru menangis. Zahra hanya melihat saja dengan tatapan lembut. Dia membiarkan saja air mata suaminya menetes.
“ Waktu kami kehilangan Yunus dan beberapa lain karena penerobosan di portal persis seperti ini. Kematian hanya sebuah siklus,” kata Nanang.
Mereka yang luka dirawat di tempat lain. Sersan Candra Kirana, dua serdadu pulau dan empat serdadu semut.
Di pihak lawan, termasuk mereka yang jadi tinggal sepatunya, terhitung tiga puluh empat orang juga dikubur di perkuburan koloni walau tempatnya terpisah.
“Tahanan itu akan dilepas?”
“Dilepas Jenderal, mereka akan membawa pasukan lain?” ucap Ahmady.
“Koloni tidak mau menerima mereka lagi. Kami hidup dengan filsafat serangga, ganas terhadap yang meyerang, tetapi tidak pendendam. Silahkan saja menyerang. Kita akan melawan sampai orang terakhir.”
“Secara militer tak ada keuntungannya. Kerugiannya akan lebih besar bagi Rezim Dhimas. Apalagi setelah melihat perlawanan hari ini.”
“Benar kawan! Kalau saya jadi Jenderal mereka lebih baik mempertahankan kedudukan daripada mencari musuh baru.”
Rapat kilat para tetua, rencananya empat serdadu dan empat yang luka setelah dirawat ditambah empat tahanan lain dilepas. Mereka ditumpuk dalam satu perahu karet dan dilepas di tengah laut dengan perbekalan makanan dan minuman untuk tiga hari, tetapi tanpa kompas. Senjata mereka hanya dua pucuk pistol dan selusin peluru yang sudah dipisah.