Di sisinya ada tiga serdadu semut berbaju merah hitam juga masih remaja. Rupanya mereka berjalan cepat.
“Maaf kakak, kita ingin ikut? Aku Nyoman Astra, ini Hamid dan itu Astari?”
Komplit, total tiga remaja putra dan tiga remaja putrid mengawalnya. Alif menggeleng kepala. Tetapi mereka tidak menggunakan kendaraannya.
“Kami disuruh latihan oleh Kak Evan dan Kak Ristia jalan kaki yang jauh!”.
Mereka sudah mendaki bukit. Dua hari ini hujan. Jalan setapak agak licin walau sudah ditata seperti tangga dengan lebar anak tangga cukup untuk 3-4 orang dengan pohon-pohon di sekelilingnya. Semacam pohon sukun dikombinasi dengan pohon eucalyptus, serta pohon asli yang mungkin asli pulau itu. Alif jadi teringat nama salah satu anaknya.
Namun tim semut dan tawon memberikan keduanya privasi menjaga jarak sekitar dua ratus meter. Sekitar satu setengah jam mendaki, mereka tiba di puncak bukit hingga mereka bisa melihat Blok IV dan tepi pantai yang dibatasi tembok yang pernah ia lihat. Tidak ada yang aneh. Hanya ada berapa kelompok hutan kelapa dan biasa itu di pulau. Sepi. Lalu mengapa warga koloni dilarang melewati tembok?
Matahari terbit dari salah satu sudut pentai. Panorama yang indah. Mereka beristirahat sejenak.
“Mengapa tempat ini terlarang Bro Anis?”
“Perbatasan. Dugaan Kak Alif ini batas portal dan hutan kelapa itu samarannya. Waktu Kak Alif bertemu Harum, kami membawa ke Alif melewati hutan kelapa itu, Ok? Saya jawab semua pertanyaan Kak Alif selama ini. Kak Alif juga dari sana ketika dibawa kemari.”
“Sebetulnya warga koloni boleh, kecuali saya kan?”
“Zahra juga pernah, tetapi seizin para tetua kita dan dikawal mantan tentara dan polisi anak buah Kak Irwan dan Kak Widy. Tetapi waktu mereka masih muda. Kini mereka sudah menua dan tidak bisa lagi mengawal kami seperti dulu. Makanya sebagian anak-anak koloni dilatih dengan senjata yang dirancang untuk kami dan tidak akan ada di dunia sana, “ papar Anis.