Alif melintasi ladang jagung dan kebun buah sebelum masuk hutan sebelum turun ke sungai. Untuk memandunya di hari yang masih gelap, ia menggunakan lampu fosfor yang diberikan teman-teman dair komunitas kunang-kunang. Ketika sampai di tepi sungai dia bertemu Anis mengenakan baju dan celana, hingga penutup kepala serba abu-abu. Hanya saja Anis mengenakan sepatu gunung yang masih ia simpan rupanya.
“Anjeunpikir, hanya anjeun yang rindu hiking?” sapanya.
“Tahu dari mana Bro?” Alif menyambutnya. Sebetulnya ia ingin sendiri. Tetapi adanya Anis mengingatkannya pada masa lalunya juga.
“Biasanya sama Harum?”
“Di bukit selatan, tetapi di jalur ini baru bersama Aa,” kata Anis. “Ayo kita harus sampai bukit persis saat matahari terbit, panoramanya bagus.”
Mereka berjalan cepat menelusuri sungai, sebelum mulai mendaki. Di seberang sungai dua remaja tampak mengikuti mereka. Pakaian mereka berwarna hitam-hitam dengan garis ungu muda. Serdadu tawon. Penguntit lagi? Kan sudah ada Anis? Lagipula Alif sudah mengumumkan rencana perjalananya di Majalah Insekta karena dia ingin mengajarkan bagaimana membuat repotase perjalanan.
“Kak Alif, Kak Anis, saya Elsa dan ini Dealova,” seru salah seorang dari mereka.
Remaja putri. Usia mereka sekitar 18 tahun. Tetapi Alif tahu itu dua di antara penembak sengat terbaik dari pasukan perempuan tawon pimpinan Ristia. Tentu ada remaja putranya juga. Dugaan Alif benar ada seorang lagi lari tergopoh-gopoh.
“Salazar! Kamu telat!” Dea tampak cemberut.
“iya!”
Alif memperhatikan, mereka tidak mengendarai tawon tetapi membawa senjata pelontar sengat yang pernah ia lihat di panggung hiburan dan film buatan Harum. Standar, sekalipun tidak pernah ada musuh yang masuk ke areal koloni. Tetapi anak buah Irwan Prayitna yang melatih mereka mengharuskan tetap demikian, mengingat berapa kali penyusupan.