Entah berapa jam mereka di udara. Di bagian bawah terlihat laut, tetapi makin lama langit yang tadi cerah warnanya berubah buram. Jarum kompas berputar cepat tanpa berhenti.
“ Sialan! Kita hilang! Persis seperti cerita orang yang hilang dari Segitiga Bermuda!” gumam Ahmady kagum.
Kumbang segera turun ke air yang dangkal dan akhirnya mendarat di sana. Seketika itu juga langit kembali cerah. Mungkin langit buram itu semacam perisai. Lalu dari dalam pesawat perahu karet dikeluarkan, mereka harus basah sedikit. Yuyi dan Januar bekerja cepat. Mereka sudah di laut. Para pengejar terperangah dua heli tempur jatuh dengan deras dan meledak di laut karena mereka terlambat untuk terbang rendah. Sepertinya mereka menabrak perisai yang tak tampak. Empat heli lainnya oleng dan mengalami kerusakan. Tetapi para serdadunya sempat menurunkan empat perahu karet sebelum keempat heli itu meledak.
“Mereka juga tidak bisa kembali dengan mudah,” gumam Ahmady. “Tapi jumlah mereka lebih dari empat puluh orang.”
Ada tiga rumah penduduk di pantai itu. Tampaknya nelayan. Kecuali satu orang pria tua yang mengenali Yuyi.
“Kalian ikut ke gerbang! Cepat!” kata orang tua itu.
Dua orang nelayan mengeluarkan senapan api dan menjadikan perahu sebagai tempat berlindung. Jelas bukan nelayan biasa. Kontak senjata terjadi.
Seorang serdadu Ahmady merasa tidak enak. Dia ikut membantu.
“Saya tahan mereka Dan! Terus saja ikut mereka Dan! Bawa orang sipil. Rawe-rawe lantas, malang-malang putung!”
Ahmady terharu mengikuti Bapak Tua itu menuju rimbunan pohon kelapa. Dari kejauhan aku masih melihat kontak senjata. Jelas mereka bertiga tidak akan mampu menahan puluhan serdadu yang kebanyakan tentara bayaran.
“Terima kasih kawan!” ucap Ahmady terharu.