Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Koloni (46)

16 Juni 2017   16:38 Diperbarui: 16 Juni 2017   16:42 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi by irvan sjafari

Entah berapa jam  mereka di udara.  Di bagian bawah terlihat laut, tetapi makin lama langit yang tadi cerah  warnanya berubah buram.  Jarum kompas berputar cepat tanpa berhenti. 

“ Sialan! Kita hilang!  Persis seperti cerita orang yang hilang dari Segitiga Bermuda!”  gumam Ahmady kagum. 

Kumbang  segera turun ke air yang dangkal dan akhirnya mendarat di sana.  Seketika itu juga langit kembali cerah. Mungkin langit buram itu semacam perisai.  Lalu  dari dalam pesawat perahu karet dikeluarkan, mereka harus basah sedikit.    Yuyi dan Januar bekerja cepat.  Mereka sudah di laut.  Para pengejar terperangah  dua heli tempur  jatuh dengan deras dan meledak di laut karena mereka terlambat untuk terbang rendah.  Sepertinya mereka menabrak perisai yang tak tampak.   Empat heli lainnya oleng  dan mengalami kerusakan. Tetapi  para serdadunya sempat  menurunkan empat  perahu karet sebelum  keempat heli itu meledak.

“Mereka juga tidak bisa kembali dengan mudah,” gumam Ahmady. “Tapi jumlah mereka lebih dari empat puluh orang.”

 Ada  tiga  rumah penduduk di pantai itu. Tampaknya nelayan.  Kecuali satu orang pria tua yang mengenali Yuyi.

“Kalian ikut ke gerbang! Cepat!” kata orang tua itu.

Dua orang nelayan mengeluarkan senapan api dan menjadikan perahu sebagai tempat berlindung. Jelas bukan nelayan biasa.  Kontak senjata terjadi. 

Seorang serdadu  Ahmady merasa tidak enak.  Dia ikut membantu.

“Saya tahan mereka  Dan! Terus saja ikut mereka Dan!  Bawa orang sipil. Rawe-rawe lantas, malang-malang putung!”

Ahmady terharu mengikuti Bapak Tua itu menuju rimbunan pohon kelapa. Dari kejauhan aku masih melihat kontak senjata. Jelas mereka bertiga tidak akan mampu menahan puluhan serdadu yang kebanyakan tentara bayaran.

“Terima kasih kawan!” ucap Ahmady terharu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun