Sama dengan pepatah buah tak jatuh jauh dari pohonnya, kacang nurut lanjaran ini menggambarkan bagaimana seorang anak akan persis sesuai dengan karakter orangtuanya.
Saya kadang tak habis pikir dengan teman-teman yang teriak-teriak tentang korupsi di negeri ini. Mereka mengumpat, mencela, memintakan hukuman mati untuk pelakunya, sayangnya, kelakuannya sama sekali bertolak belakang.
Apalagi saat gelaran pendaftaran murid baru (SPMB) tiba, saya jadi tahu tentang karakter masing-masing orang. Baik dari orang biasa, PNS, honorer, pedagang, aparat penegak hukum, dan datang dari berbagai profesi lain, ada saja yang selalu bertanya tentang "jalur khusus".
Banyak yang bertanya, apakah ada "jalur langit"? Ya, saya jawab saja, "Ada." Jalur langitnya dengan cara memanjatkan doa, agar dimudahkan dalam mendaftar dan diterima. Eh, ternyata mereka, orang tua pendaftar, masih juga mengharapkan jawaban yang lain.
Saya bilang, "Jalur tanah." Dan mereka pun yakin dengan apa yang ingin saya katakan, seolah saya mengiyakan akan ada jalur khusus untuk anak mereka. Padahal jalur tanah itu, ya maksud saya, berbisik dengan doa pada saat sujud salat-salat yang didirikan.
Di mata mereka, saya melihat betapa besar harapan-harapan untuk dapat diterima di sekolah unggulan, meski dengan menempuh berbagai jalan, baik jalan yang legal maupun harapan akan dibukanya jalur yang tidak legal, dengan transaksi bawah tangan yang tentu saja menampar integritas kita sebagai seorang pendidik.
Pertaruhan Integritas
Saya katakan, saat penerimaan murid baru inilah posisi-posisi rawan bagi sekolah, bahkan bagi masa depan bangsa kita tercinta. Ini dunia pendidikan, lo. Dunia yang menjadi kawah candradimuka lahirnya generasi penerus negeri.
Nilai-nilai kejujuran, keadilan, serta kepatuhan terhadap norma dan hukum, sering kali justru runtuh di fase ini. Padahal, SPMB adalah gerbang menuju proses pendidikan formal selanjutnya yang seharusnya bersih dari permainan curang.
Ironisnya, bukan hanya orang awam. Mereka yang paham hukum, para intelektual, tokoh masyarakat, bahkan aparatur sipil, ada saja yang tetap mencari-cari celah agar bisa “lolos” dari aturan main yang seharusnya adil bagi semua.