Dengan tidak mengesampingkan potensi negatif dari cancel culture, sebenarnya cancel culture juga berpotensi menjadi mekanisme sosial yang efektif untuk menegakkan nilai-nilai etika dan menjaga ruang publik lebih beradab.
Cancel culture sedang terjadi di Indonesia dan mungkin akan semakin sering terjadi. Fenomena ini terutama menimpa pesohor dunia hiburan tanah air, bahkan merambah ke pejabat yang terlibat perilaku menyimpang. Mereka sering kali menjadi sorotan karena kerap tampil di layar televisi maupun media sosial kita.
Tanpa disadari, cancel culture kini juga menjalar ke dunia di luar hiburan. Ini adalah bentuk seleksi alami dalam kehidupan. Sebuah mekanisme yang seharusnya memberikan ruang bagi hal-hal positif dan menyingkirkan segala sesuatu yang berdampak buruk.
Bukan soal adil atau tidak adil, cancel culture semestinya menjadi pengingat bersama bahwa setiap perilaku harus dipertanggungjawabkan. Memberikan ruang bagi perilaku negatif sama saja dengan membangun budaya yang tidak sehat bagi bangsa ini.
Beberapa pesohor dunia hiburan tanah air telah merasakan dampaknya. Ada yang kariernya meredup setelah tersandung kasus pelecehan seksual karena tidak lagi mendapatkan tawaran tampil.
Ada pula yang harus kehilangan penonton di kanal videonya setelah bersikap sarkastis kepada seorang bapak yang disangka memanfaatkan situasi untuk meminta-minta.
Kasus terbaru yang ramai diperbincangkan adalah seorang pegawai perusahaan pelat merah yang dikecam karena memparodikan pengalaman mendapatkan layanan kesehatan dengan asuransi yang berbeda dari dirinya.
Sebenarnya, sudah banyak kisah cancel culture yang terjadi, baik terekam kamera maupun tidak. Inti dari semua ini adalah boikot terhadap eksistensi seseorang yang dapat terjadi di berbagai dimensi kehidupan, media sosial, dunia hiburan, bahkan karier profesional.
Membentuk Budaya Baik
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang merajalela membuat budaya-budaya baru terbentuk dengan sangat mudah.