Tentu sangat tidak bijak jika kita rela berutang hanya untuk pesta sehari. Pernikahan memang momen yang diharapkan terjadi sekali seumur hidup. Namun, apakah pantas kita mempertaruhkan masa depan keuangan hanya demi sebuah kemewahan sesaat? Jika tidak mampu, mengapa harus memaksakan pesta mewah dengan berutang?
Kalaupun ada alasan terpaksa, terpaksa karena apa? Mahar? Tekanan sosial? Keinginan dianggap "wah"? Padahal, menikah sejatinya dipermudah oleh agama dan negara.Â
Pernikahan adalah sebuah kesepakatan antara dua insan, bukan keterpaksaan, apalagi titik awal bencana bagi keluarga atau rumah tangga kita.
Opini ini lahir dari berbagai pengalaman nyata di sekitar saya, sahabat dan tetangga. Melalui tulisan ini, saya mengajak kita semua, termasuk diri saya sendiri, untuk lebih bijak dalam mengambil keputusan finansial.Â
Jika utang bukan untuk situasi darurat atau kebutuhan mendesak, melainkan hanya demi memenuhi keinginan sesaat yang sebenarnya bisa kita hindari seperti untuk pesta pernikahan yang notabene memang kita gak punya uang untuk menggelarnya, bukankah lebih baik menghindari utang sama sekali?
Sebuah PermintaanÂ
Kisah seorang sahabat karib yang batal menikah karena syarat yang diajukan calon mertuanya. Entah apa alasannya, mereka meminta mahar yang jelas-jelas berada di luar kemampuan sahabat saya.Â
Pada akhirnya, rencana pernikahan itu kandas karena sahabat saya memutuskan untuk tidak memenuhi permintaan tersebut.
Cerita serupa juga terjadi pada sahabat lainnya. Kali ini bukan hanya soal mahar, tetapi juga berbagai permintaan lain yang tidak masuk akal, pernak-pernik yang sebenarnya bukan kewajiban calon suami untuk disediakan.Â
Lagi-lagi, sahabat saya memilih mundur dari rencana pernikahan. Bukan karena dia tidak mampu, tetapi karena dia berpikir jauh ke depan.
Bayangkan saja, baru jadi calon pasangan sudah meminta sesuatu yang selangit. Lalu bagaimana nanti setelah resmi menikah?Â