Kita perlu memastikan bahwa Program Guru Penggerak menjadi bagian integral dari transformasi pendidikan, bukan sekadar program yang akan ditinggalkan ketika berganti menteri.
“Presiden ganti, menteri ganti, pasti kurikulum ganti,” celetuk salah satu rekan guru saat kami ngopi bersama, menikmati jeda singkat di tengah kesibukan mengajar.
Di sela obrolan itu, nasib Program Guru Penggerak pun menjadi sorotan. Program yang membekali guru dengan kompetensi inovatif dan jiwa kepemimpinan ini sekarang seolah berada di persimpangan jalan, menghadapi ketidakpastian akibat perubahan kebijakan setiap kali kabinet berganti.
Ada yang menyambut wacana penghapusan program ini dengan lega, sementara yang lain optimis Guru Penggerak akan tetap dilanjutkan. Kegelisahan ini, bagi saya, wajar dan patut dipahami.
Perubahan kurikulum yang kerap kali terjadi di Indonesia, setiap kali kursi kementerian berganti, seringkali meninggalkan ketidakpastian bagi guru, siswa, dan sistem pendidikan secara keseluruhan.
Sudah seperti tradisi, setiap menteri baru seakan harus memperkenalkan kurikulum baru, meski implementasi kurikulum sebelumnya belum mencapai titik optimal.
Kini, spekulasi bergulir, apakah kurikulum kembali dirombak, atau justru program-program unggulan yang diinisiasi menteri sebelumnya akan dipangkas?
Kekhawatiran saya terletak pada keberlanjutan Program Guru Penggerak, sebuah inisiatif yang menjadikan guru sebagai agen perubahan di sekolah, satu terobosan penting untuk masa depan pendidikan kita.
Program ini seharusnya tidak hanya menjadi inovasi sesaat, tetapi sebuah langkah konsisten dalam peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Tentu saja, kelanjutan ini perlu disertai dengan evaluasi dan adaptasi berkelanjutan.
Komitmen untuk mempertahankan dan mengembangkan program ini mencerminkan upaya kita untuk membentuk generasi pendidik yang lebih baik, yang pada akhirnya akan mengangkat kualitas pendidikan tanah air ke jenjang yang lebih bermakna.
Wajib, Bukan Opsional