Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Untuk saat ini menulis

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Trend "Self Diagnosis" Diagnosa Kesehatan Secara Mandiri, Tepatkah?

5 September 2022   17:26 Diperbarui: 9 Oktober 2022   15:38 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: halodoc.com

Self diagnose? adalah diagnosa secara mandiri atas gejala yang sedang kita alami. Sebenarnya tanpa sadar seringkali kita melakukan self diagnose, wajar, karena pasti kita penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi oleh kita. Apakah self diagnose ini tepat kita lakukan?

Self diagnose memunculkan berbagai resiko yang bisa saja terjadi, alih-alih sadar kesehatan jiwa justru salah-salah kita membuat penanganan yang tidak tepat dan berisiko terhadap diri kita. Kadang kala dengan pengetahuan yang ala kadarnya yang kadang hanya bersumber dari media massa ataupun dari katanya dan katanya kita mencoba seolah-olah sadar kesehatan jiwa dengan mengkait-kaitkan gejala yang kita alami dengan apa yang kita baca dan apa yang kita dengar, padahal sama sekali tidak ada pengetahuan apapun tentang gejala yang kita alami tersebut, jika ternyata dari beberapa gejala yang kita alami itu sesuai dengan apa yang kita baca dan kita dengar, tidak pasti benar juga bahwa gejala tersebut adalah gejala yang sama sesuai dengan apa yang sedang kita alami. 

Ada beberapa pertimbangan kenapa self diagnose sangat berisiko jika kita lakukan, diantaranya adalah sebagai berikut.

Diagnosa harus berdasarkan pendapat ahli dan assesment yang valid

Sumber Gambar: linksehat.com
Sumber Gambar: linksehat.com

Jangan asal-asal mendiagnosa diri sendiri ya, karena diagnosa ini adalah ranah para ahli, baik dokter, psikiater, psikolog, dan diagnosa ini dilakukan menggunakan assesment yang memang telah ditetapkan dalam standart operasional prosedur sesuai bidang masing-masing. Perkara diagnosa ini bukan perkara yang mudah, karena hasil assesment dari diagnosa tersebut akan menjadi rujukan untuk melakukan tindakan berikutnya. 

Kadang ahli saja bisa salah apalagi kita yang tidak punya pengetahuan apapun tentang gejala yang sedang kita alami dengan beraninya melakukan self diagnose dan melakukan penanganan secara mandiri dari hasil self diagnose tersebut. Pendapat para ahli saja membutuhkan second opinion atau pendapat pendamping untuk memvalidasi pendapat yang pertama sekaligus melakukan koreksi sebagai bentuk kewaspadaan. Sebab diagnosa yang salah, akan mengakibatkan penanganan yang salah, dan penanganan yang salah berakibat resiko mengancam nyawa ataupun merugikan secara psikis. 

Maka pendapat ahli mutlak diperlukan agar penanganan selanjutnya tidak salah. Gak mau kan kita di operasi usus buntu padahal hanya sakit perut kurang minum atau kurang serat, atau gak mau juga kan kita sudah banyak minum obat dan terapi untuk jantung tapi ternyata hanya asam lambung yang kumat? Beda hasil diagnosa beda penanganan, maka serahkan diagnosa pada ahlinya!

Self diagnose memperburuk keadaan

Sumber Gambar: halodoc.com
Sumber Gambar: halodoc.com

Hati-hati ketika kita terjebak dalam self diagnose, hal ini akan merusak mental seseorang. Diagnosa yang dilakukan secara mandiri ini sangat berbahaya dilakukan. 

Contoh ada seorang yang mengalami kecemasan, jantung berdebar, ingin selalu rebahan dan tidak bisa tidur, nahas ketika dalam pencarian di internet gejala yang ditemukan hampir sama dengan gejala orang dengan gejala gangguan kejiwaan, dan dengan diagnosa ala kadarnya seseorang tersebut begitu meyakini bahwa memang dia sedang mengalami gangguan kejiwaan, apa yang terjadi berikutnya? sugesti tersebut bisa saja justru memperparah keadaan, padahal sebenarnya gejala awal tadinya bukan karena seorang tersebut penderita ODGJ tapi seseorang yang sedang mengalami masalah kejiwaan, catat ya, bedakan antara orang dengan gangguan jiwa dengan orang dengan masalah kejiwaan. 

Jika diagnosa awal tepat, maka penanganannya pun mudah, tidak perlu seorang tersebut merasa diri sebagai ODGJ lalu melakukan pengobatan sesuai dengan pengobatan ODGJ, cukup temukan masalah yang membuat gejala tersebut timbul, lalu selesaikan. Mudah bukan, tidak perlu ribet, yang penting ada partsipasi aktif dari seorang tersebut. 

Seorang yang berada dalam pengaruh sugesti akibat self diagnose nya sendiri bisa jadi akan memperburuk keadaan masalah kejiwaan nya, karena dia sudah merasa menjadi ODGJ dan terpatri dalam diagnosa tersebut akhirnya lambat laun seorang tersebut benar-benar menjadikan dirinya sesuai dengan hasil diagnosa secara mandiri tadi, dari yang tadinya hanya  orang yang bergejala ODMK (orang dengan masalah kejiwaan) akhirnya benar-benar menjadi ODGJ, fatal bukan? Tentunya dengan sebab-sebab lain yang mendukung sehingga seorang tersebut mengalami ODGJ. 

Masalah kejiwaan ini berbeda dengan ODGJ ya, jika ODMK ini biasanya karena sebab tertentu, jika sebab tertentu yang mengakibatkan ODMK tersebut terselesaikan maka gejala ODMK pun hilang. Contoh; cemas menghadapi perceraian akhirnya timbul ODMK, cemas berlebihan, tidak bisa tidur, dan malas melakukan apapun, jika masalah tersebut telah usai maka gejala ODMK pun hilang. Beda dengan ODGJ, yang terganggu adalah jiwanya, yaitu cara berpikirnya, berperilakunya dan masalah emosinya, ini tidak bisa diselesaikan dengan mudah seperti ODMK tadi , tapi diperlukan perawatan khusus dalam menangani. Hati-hati ya jangan sampai ODMK anda menjadikan ODGJ. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun