Mohon tunggu...
Jun Joe Winanto
Jun Joe Winanto Mohon Tunggu... Koki - Chef

Menulis sebagai rangsangan untuk sel-sel otak agar terus berbiak. La Cheo Joe, banyak menulis buku, tetapi tidak untuk diterbitkan secara komersial. Buku-buku tersebut diperuntukkan untuk proyek Departemen Pendidikan Nasional dari beberapa penerbit. Lebih dari 100-an judul buku telah ditulisnya. Lahir pada 9 Juni di “Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah”, sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Cita-citanya berbelok seratus delapan puluh derajat dari yang diidam-idamkan menjadi Dokter Kandungan. Kuliah pun sebenarnya tak diinginkan oleh kedua orang tuanya karena sesuatu dan lain hal. Cerita berkata lain, diam-diam Sang Guru Bimbingan Karier (BK) SMA-nya memberikan berkas lembaran sebagai Mahasiswa Undangan ke Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. La Cheo Joe sempat merenungi keputusan saat jari-jemarinya menjentikkan pulpen mengisi titik-titik bernama. Perjalanan kariernya di beberapa perusahaan, mengantarkannya untuk berkeliling daerah di Indonesia. Mulai dari Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan. La Cheo Joe sebagai penyuka olahraga selam, masak,icip-icip makanan, traveling, dan naik gunung ini, bercita-cita punya “tempat makan” sendiri dan ingin segera merampungkan salah satu bukunya yang sempat tertunda lama. Untuk mengenal lebih jauh dengannya, dapat dihubungi via email: junjoe.gen@gmail.com atau di nomor telepon 0857 1586 5945.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilu Damai Anti Intoleran, Radikalisme, dan Terorisme

20 Februari 2019   21:15 Diperbarui: 20 Februari 2019   21:34 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deklarasi Penulis Pemilu Damai Lawan Intoleran, Radikalisme, & Terorisme [Foto: Dok Pepnews!]

"Kalah jadi abu, menang jadi arang." Mungkin ini peribahasa yang tepat untuk orang yang  ribut tak berkesudahan, tetapi tak mendapatkan hasil apa-apa. Ya, yang diributkan pun tenang-tenang saja, melenggang jalan ke mana kaki melangkah.  Terus, hasil dari ribut-ribut apa?  Berantem.

Berantemnya pun tak hanya berantem di media sosial, tapi merambah ke ranah pribadi. Lanjut berujung ghibah di antara sesama. Flashback sebentar, di era orba (saya cukil sedikit saja),  partai hanya tiga, bisa adem ayem. Media sosial pun tak ada. Dulu, boro-boro pake media sosial, bertingkah macam-macam saja sudah "hilang".

Perkembangan teknologi sepertinya tidak dibarengi dengan mentalitas pengguna. Buta mata karena amarah sesaat. Tak lagi bisa membedakan, mana yang baik mana yang benar. Filtrasi seakan tak berperan. Bocor di mana-mana.

Amarah tak dikendalikan, emosi meledak-ledak yang pada akhirnya merugikan diri sendiri.  Hal-hal seperti inilah yang sesungguhnya dihindari untuk menyambut pesta demokrasi bangsa  ini yang sebentar lagi akan digelar. Memperhatikan banyaknya hujatan, ujaran yang mengarah pada kebencian, radikal, dan diperparah lagi intoleran terhadap  keadaan.

Dinamika radikalisme, intoleran, dan ujaran kebencian di negara kita ini selalu saja berubah dalam bentuk yang dinamis sebagai modus, propaganda, rekruitmen, juga jaringannya. Kebencian, radikal, intoleran, seakan tidak pernah mati. Hal apa yang paling berbahaya dari hal itu tak sekadar panggung aksi caci maki yang bisa diperagakan, tetapi masuk lebih jauh ke dalam militansi pribadi kepada pribadi yang mengubah cara pandangnya dan pola pikir dirinya.

Generasi mudalah yang paling rentan dengan ini semua. Sudah jadi rahasia umum, mayoritas  pelaku radikal di negara ini adalah generasi muda, mereka yang berusia 20-35 tahun. Generasi  muda negara ini  menjadi incaran dan target penyebaran kelompok radikal dan intoleran.

Ada banyak alasan memang untuk memberikan penjelasan terhadap generasi muda yang goyah dan mudah terpengaruh ajakan dan propagada radikal intoleran.  Salah satuya faktor psiko sosial di area generasi muda yang sangat penuh semangat juga idealisme tinggi. Sementara, pengetahuan mereka cetek terhadap bentuk dan perkembangan radikal intoleran.

Oleh karenanya, radikalisme, intoleran,  dan terorisme memang mesti kita hadapi. Jangan pernah ada kata kompromi untuk hal ini. Negara dan penyelenggara negara mesti mengawasi ketat tanpa terkecuali. "Peran agama sebenarnyalah membuat orang sadar mengenai fakta dari umat manusia dan alam sekitar", menukil  apa yang diucapkan Gus Dur.

Benar adanya,  agama menjadi benteng pertahanan untuk tak mengumbar kebinasaan yang bakal terjadi. Sejumlah riset pun pernah menyebutkan bahwa,banyak dari kelompok radikalisme-terorisme  jarang bahkan tidak pernah sama sekali bicara atau dialog dengan pihak yang berbeda dengan keyakinannya, apalagi yang sifatnya intensif.

Padahal, siapapun dan apapaun tindakan yang pernah dilakukan sebelumnya, sadar atau tidak sadar, mereka tetaplah manusia.  Sebagai makhluk sosial, oleh karena itu perlu yang namanya komunikasi di alam bawah sadar setiap manusia ada terbersit keinginan untuk dapat bicara secara bijak kepada lain pihak.

Hal inilah yang sering kali terlewat dari jangkauan orang banyak. Di saat banyak orang menyalahkan orang lain, justru PEPNEWS merangkul secara bijak orang-orang yang berbeda pandangan (dalam hal ini penulis) untuk berdialog lewat kata-kata damai dan bertukar pendapat. PEPNEWS mengubah pemikiran sarat kekerasan, radikal, intoleran, dan teror, maupun pengkhianatan kepada negara   dalam tulisan damai menenteramkan, menetralisir situasi dan kondisi lebih kondusif lewat pesan damai penulisnya. Semoga PEPNEWS mampu mengubah orang-orang yang berkhianat dan pengkhianatan menjadi kesetiaan lewat tulisan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun