Mohon tunggu...
Juneman Abraham
Juneman Abraham Mohon Tunggu... Dosen - Kepala Kelompok Riset Consumer Behavior and Digital Ethics, BINUS University

http://about.me/juneman ; Asesor Kompetensi - tersertifikasi Badan Nasional Sertifikasi Profesi; Adjunct Lecturer di Sekolah Tinggi Kepemerintahan dan Kebijakan Publik (SGPP Indonesia); Pengurus Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI) bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Psikologi Kebangsaan Sebagai Payung Studi Baru di Indonesia

18 April 2015   22:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:56 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peran psikologi dalam menangani persoalan dan meningkatkan kesejahteraan bangsa sudah sering diangkat menjadi topik-topik seminar dan konferensi psikologi, baik dalam subdisiplin psikologi sosial, klinis-makro, maupun subdisiplin yang lain. Psikologi, sebagai ilmu yang bersinggungan dengan dimensi-dimensi manusia, mencoba berkontribusi mulai dari merumuskan definisi “bangsa” sampai dengan melakukan penelitian dan intervensi sosial solutif terhadap permasalahan bangsa. Gejala ini sangat menggembirakan karena hal ini menunjukkan bahwa kita terus-menerus mempertanyakan diri kita sebagai sebuah bangsa, sebuah prakondisi akan perkembangan yang sehat, sekaligus melihat dan mencoba menjangkau kemungkinan-kemungkinan bagaimana bangsa kita akan “menjadi”.

Dalam salah satu definisi dalam kerangka kewargaan (civic), seperti bangsa Indonesia, basis kesatuan bangsa dikonsepsikan berdasarkan keterlibatan sukarela para warga (citizen)-nya dalam prinsip ideologis dasar, seperti perasaan sebagai warga (sense of citizenship), komitmen terhadap lembaganya, serta partisipasi yang diminta ideologi dan lembaga-lembaga itu (Meeus, Duriez, Vanbeselaere, & Boen, 2010, dalam Juneman & Meinarno, 2012). Lebih lanjut, apabila diperlukan adanya perubahan ideologi, maka konsensus negosiatif antar warga dapat memungkinkan hal tersebut. Dalam hal ini, keanggotaan kelompok dapat diperoleh siapapun yang memenuhi secara demokratis kriteria yang ada. Dari aspek psikologis, bangsa (Volk, nation) merupakan komunitas yang diikat oleh persepsi-persepsi subjektif yang melihat dirinya sebagai bagian dari bangsa itu, dan karenanya bangsa memiliki jiwa (Volksgeist, national spirit; Volksseele, national psyche), yang sesungguhnya bukan berasal dari kesamaan kesukuan, bahasa, atau kekerabatan, melainkan berasal dari identifikasi psikologis pribadi-pribadi yang bersama-sama meleburkan diri dengan bangsa tersebut (Lazarus & Steinthal, dalam Rosenberg, 2008).

Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka setiap psikologi (diandaikan bahwa psikologi itu tidak singular) yang mengindikasikan dan mempreskripsikan kerekatan perasaan dan komitmen warga dengan komunitas bangsa yang diimajinasikannya layak disebut sebagai Psikologi Kebangsaan. Mengapa Psikologi Kebangsaan menjadi penting sebagai suatu bidang studi dewasa ini? Sebagaimana kita ketahui, bangsa menghadapi berbagai persoalan sepanjang sejarahnya. Sebagian besar persoalan, apabila ditilik, sesungguhnya merupakan persoalan bagaimana bangsa berperilaku. Psikologi sebagai ilmu yang berhasrat menemukan hukum-hukum perilaku, apabila sukses dalam misinya itu dalam konteks kolektif-kebangsaan, akan berkontribusi dalam memahami, menjelaskan, serta meminimalisasikan bahkan menyelesaikan berbagai varian persoalan bangsa yang timbul, mungkin timbul, dan pernah timbul dalam berbagai jenis dan skalanya. Dalam konteks Indonesia, psikologi kebangsaan menjadi semakin relevan karena jika kita berbicara tentang peran Indonesia dalam kancah internasional, yang pada 2015 semakin faktual dengan masuknya dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN (di mana Indonesia merupakan bagiannya), maka bukan hanya psikologi internasional yang perlu dikuasai, namun justru psikologi bangsa kita sendiri lah yang pertama-tama perlu digali dan dipetakan karakteristik, kekuatan dan kerentanannya, sambil menghubungkan diri dan berdinamika dengan jejaring internasional.

Pertanyaan lebih lanjut adalah bagaimana metode mengenali psikologi bangsa? Wilhelm Wundt, Bapak Psikologi, pernah menyatakan bahwa perkembangan jiwa kolektif dapat diakses melalui bahasa, mitos, dan adat (Wundut, dalam Rosenberg, 2008). Implikasinya, psikologi kebangsaan perlu berkolaborasi dengan ilmu linguistik, mitologi, dan etnologi (juga ilmu-ilmu fisik, dan sosial lainnya, termasuk psikohistori, cf. Bendersky, 1988) dalam mempelajari kehidupan mental bangsa. Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa psikologi kebangsaan tidak berbicara tentang penjumlahan psikologi sekumpulan individu yang menjadi anggota sebuah bangsa, juga tidak berbicara tentang psikologi massa yang statis dan dapat diprediksikan dalam kondisi tertentu. Psikologi kebangsaan merupakan sebuah gestalt (totalitas) interaksi yang menampakkan konfigurasi baru dari jiwa-jiwa individu-individu tersebut yang selalu tetap terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan perkembangan personal dan situasional yang dapat mengubah gestalt itu. Yang berinteraksi bukan hanya aspek sadar, tetapi juga aspek-aspek tidak sadar; bukan hanya aspek masa sekarang, tetapi juga aspek historis dan aspek visioner; bukan hanya aspek individu tetapi juga kelembagaan. Ringkasnya, psikologi kebangsaan berbicara mengenai “perjalanan” identitas dan bangunan ingatan dari individu-individu dan lembaga-lembaga menuju kolektivitas bangsa, dari bangsa pada masa yang lalu menjadi bangsa pada masa sekarang dan “potensi menjadinya” bangsa di masa yang akan datang. Tidak heran, Woodworth (1912) sejak lama mengingatkan bahwa kita perlu berhati-hati dalam melakukan generalisasi tentang karakter dan perilaku bangsa. Mengapa? Sebab bangsa selalu dalam kondisi “bergerak” yang berada dalam “ketegangan” antara sosiologi masyarakat, kondisi alam, dan psikologi individual anggota bangsa. Mengambil kesimpulan tentang jiwa bangsa sangatlah tidak mudah; kita bisa tergelincir pada simplifikasi yang boleh jadi tidak akan menambah sesuatu pemahaman apa mengenai bangsa kita, melainkan hanya akan memperburuk arah perjalanan bangsa. Oleh karenanya, pencatatan yang tekun, kaya, dan hati-hati mengenai kasus-kasus perilaku anggota bangsa sambil menyandingkannya dengan hipotesis mengenai situasi umum jiwa bangsa, bahkan yang menunjukkan konflik pemahaman antar keduanya, menjadi sangat penting untuk tidak terjebak dalam penyederhanaan dimaksud.

Guna memahami psikologi kebangsaan, di samping menyelidiki “perjalanan” dari individualitas menuju kolektivitas-bangsa sebagaimana disebutkan di atas, dari arah lain kita juga dapat mendekatinya dengan cara menyorotnya dari psikologi kelompok yang lebih luas, seperti Psikologi Asia, Psikologi Asia Tenggara, dan Psikologi ASEAN, di mana bangsa Indonesia menjadi bagiannya. Mengapa pendekatan ini dapat dibenarkan? Oleh karena, perlu kita akui, bahwa psikologi sebagai sebuah ilmu tidak bebas nilai (Kim, 1995), dan bangsa kita membagi sejumlah nilai yang sama (shared values) dengan bangsa-bangsa yang terdekat di sekeliling kita. Sebagai contoh, Psikologi Masyarakat Asia dalam salah satu simpulnya bersifat relasional, kontekstual, dan kolektif (Kim, 1995), sesuatu yang nampaknya juga eksis dalam masyarakat kita. Yang patut kita waspadai, sekali lagi, adalah perampatan (generalisasi) yang berlebihan. Meskipun sejak membuminya Psikologi Asia dengan hadirnya Asian Psychological Association (APsyA), Association of Behavioural Researchers on Asians (ABRA), ASEAN Regional Union of Psychological Societies (ARUPS), dan Asian Association of Social Psychology (AASP), kita memiliki “teropong” dan “lensa” psikologi baru untuk melihat masyarakat Indonesia, kita perlu menyadari bahwa teropong dan lensa itu juga tidak selalu memadai dan meminta kita berkontribusi, melalui Psikologi Kebangsaan, untuk meningkatkan kecanggihan segenap teknologi psikologi kita itu agar lebih peka dan presisif dalam pernyataan kita mengenai psikologi kita sendiri.

Hal lain yang perlu memperoleh perhatian kita adalah bahwa, sebagaimana psikologi yang tidak singular dengan berbagai asumsi epistemologis yang dapat saling “bertabrakan” (Juneman, 2013), demikian pula Psikologi Kebangsaan. Psikologi Kebangsaan jangan diharapkan untuk menghasilkan profil kejiwaan dan perilaku bangsa yang berlaku bagi semua anggota bangsa. Dalam salah satu studi Psikologi Kebangsaan yang sudah dimulai sejak lama di Tiongkok, Boorman dan Boorman (1967) menemukan bahwa Masyarakat Tionghoa memiliki beberapa deskripsi psikologis yang kontradiktif, yang dipengaruhi antara lain oleh perbedaan karakteristik provinsial. Kontradiksi-kontradiksi (kalau tidak “interlocking realities”, William James dalam Boorman & Boorman, 1967) yang mesti dianggap sebagai paradoks dalam Psikologi Kebangsaan sangat dimungkinkan, dan justru jangan dianggap sebagai kegagalan Psikologi itu, melainkan merupakan kenyataan yang membawa kita kepada pemahaman psikologis yang semakin mendekati kebenaran. Psikologi Kebangsaan adalah psikologi yang realistis, yang tidak duduk di “menara gading”, yang cair, yang tidak formalistik.

Saudara Imam Ratrioso telah mencanangkan bukunya "Rakyat Nggak Jelas: Potret Manusia Indonesia Pasca Reformasi" (ISBN 9786021201220) sebagai yang pertama dari Seri Buku Psikologi Kebangsaan. Sebenarnya buku ini terinspirasi dari apa yang pernah dilakukan Mochtar Lubis ketika menulis dan menyampaikan Pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki Tahun 1977. Pada saat itu, Mochtar Lubis mengemukakan tujuh ciri manusia Indonesia, sebagai berikut: (1) hipokritis (munafik), (2) segan dan enggan bertanggungjawab atas perbuatannya, kelakuannya, pikirannya, dan sebagainya, (3) berjiwa feodal, (4) percaya takhyul, (5) artistik, (6) berwatak lemah, dan (7) ciri lainnya: tidak hemat, lebih suka tidak bekerja keras (kecuali terpaksa), kurang sabar, cepat cemburu dan dengki terhadap orang yang dilihatnya lebih darinya, gampang senang dan bangga pada yang hampa-hampa, manusia-sok, tukang tiru, cenderung bermalas-malasan, cukup logis, masih lemah dalam mengaitkan antara sebab dan akibat, mesra dalam hubungan antar manusia, ikatan kekeluargaan yang mesra, berhati lembut, suka damai, punya rasa humor yang cukup baik, cepat belajar (Lubis, 2013). Saudara Ratrioso (2015), tiga puluh delapan tahun kemudian, mengemukakan delapan hipotesis tentang profil manusia Indonesia pasca-reformasi, yaitu (1) semakin mementingkan diri sendiri, (2) kemauan belajar yang rendah, (3) semakin agresif, (4) melunturnya kesadaran Ke-Indonesia-an, (5) kemenangan materialisme yang semakin sempurna, (6) kepasrahan yang tetap tinggi, (7) tetap mudah memaafkan, dan (8) tahan menderita.

Berbeda dari Lubis, Ratrioso (2015) menggunakan teori-teori psikologi sebagai alat bantu untuk memahami manusia Indonesia. Di samping itu, Ratrioso membatasi kesimpulannya, yakni hanya berlaku bagi manusia Indonesia yang hidup pasca-reformasi. Sebelumnya, Psikolog Sarlito Wirawan Sarwono (2005) menulis artikel berjudul “Bangsa Yang teledor”, Budayawan Emmanuel Subangun (2007) menulis “Bangsa Yang Lupa Ingatan”, Psikiater Limas Sutanto (2008) menulis “Bangsa Yang Dangkal”. Kendati demikian, terdapat persamaan di antara tulisan-tulisan itu, yakni tiadanya basis penelitian empiris, semacam sosial-epidemiologis, sebagai landasan bagi berdirinya kesimpulan-kesimpulan mereka tentang jiwa bangsa ini. Cukup mengejutkan bahwa hampir 40 tahun kita mendambakan adanya kesimpulan yang lebih bertanggungjawab mengenai ciri atau sifat umum Manusia Indonesia berdasarkan kesadaran kritis mengenai tingkat urgensi atau kepentingannya, namun kita tidak melakukan sesuatu upaya yang serius untuk menyelenggarakan semacam national initiatives dalam rangka itu. Nah, patut kita renungkan, ciri manusia Indonesia apakah yang tercermin dari kenyataan ini?

Terdapat sejumlah hal yang menarik perhatian saya dari buku ini. Pertama, Ratrioso dengan jeli menghubungkan pembahasan pikirannya dengan Revolusi Mental yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo. Suatu kali saya di penghujung tahun 2014 bertemu dengan Bapak Ichsan Malik, praktisi psikologi perdamaian, yang dikenal sebagai pencetus gerakan Baku Bae ketika terjadi konflik sosial di Ambon. Ia menyatakan satu hal yang menarik, yaitu bahwa di saat revolusi mental diangkat, psikologi malah “meeental”. “Ini kan kita jadinya seperti ngeledek!” ujar beliau. Benar juga! Revolusi mental merupakan sebuah terminologi yang seharusnya merupakan ranah utama psikologi, karena psikologi mempelajari kehidupan mental. Saudara Ratrioso tepat sekali ketika dalam bukunya di Bagian 3 “Apa Yang Harus Dilakukan dan Darimana Dimulai” guna menghadapi gambaran manusia Indonesia yang “seakan-akan pesimistik”; ia menyatakan pertama-tama kita perlu “Mengkonstruksi lagi jatidiri dan karakter bangsa”, suatu anjuran yang tepat sekali menyentuh jantung tindakan psikologis. Revolusi mental memang harus berawal dari mental juga, bukan dari fisik bangsa. Mental yang menjadi fokus adalah mental bangsa, yang kita bayangkan sebagai koordinat dari segenap proses dan praktik sosial bangsa ini, baik yang dihidupi oleh individu maupun lembaga-lembaga sosial.

Selanjutnya, Ratrioso menyatakan dalam bukunya:

Acara pernikahan atau hajatan itu bagus, termasuk membuat pasar malam juga bagus. Tapi jika caranya menutup fasilitas umum yang sudah lazim dipakai orang banyak, tanpa ada izin dan panduan yang jelas, tentu saja ini tidak bisa dibiarkan. Praktik demikian merupakan cermin konsep berpikir bahwa orang lain tidak penting.”

Amatan ini adalah amatan yang tajam! Hipotesis Ratrioso bahwa bagi manusia Indonesia “orang lain tidak penting” seolah membantah konsepsi Psikologi Timur dan Psikologi Orang Indonesia yang selama ini meyakini bahwa orang Indonesia memiliki konsep diri interdependen-relasional-kolektivistik (yang justru sangat mempertimbangkan orang lain), bukan konsep diri independen-individualistik seperti orang Barat. Seperti yang saya kemukakan sebelumnya, bahwa paradoks dalam profil sebuah bangsa sangat dimungkinkan. Persoalannya adalah bagaimana menjembatani pemahaman-pemahaman yang paradoksal itu. Apabila kita menggunakan rumus sederhana dari Bapak Psikolog Sosial, Kurt Lewin, bahwa perilaku merupakan fungsi dari diri dan lingkungan (Behavior = function (Person, Environment)), maka kita boleh menarik dugaan sementara bahwa kegiatan individu memantau interaksinya dengan lingkungan akan menentukan caranya memandang orang lain dalam lingkungan dan menyikapinya dalam kurun waktu tertentu. Dalam anekdot Ratrioso di atas, ada kemungkinan bahwa secara ekologis, ada batas-batas (definisi) tentang “orang lain”. Ada “orang lain” yang dianggap penting dengan perilaku itu; ada “orang lain” yang dianggap tidak penting dengan perilaku itu. Siapakah “orang lain” bagi kita dalam berbagi konteks lingkungan, dengan demikian merupakan pertanyaan yang perlu dijawab jika kita ingin menyimpulkan apakah bangsa kita memang semakin mementingkan diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun