Mohon tunggu...
Juneman Abraham
Juneman Abraham Mohon Tunggu... Dosen - Kepala Kelompok Riset Consumer Behavior and Digital Ethics, BINUS University

http://about.me/juneman ; Asesor Kompetensi - tersertifikasi Badan Nasional Sertifikasi Profesi; Adjunct Lecturer di Sekolah Tinggi Kepemerintahan dan Kebijakan Publik (SGPP Indonesia); Pengurus Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI) bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pelajaran dari Nobel Laureate tentang Keragaman dalam Penelitian

16 Februari 2017   17:27 Diperbarui: 17 Februari 2017   05:37 1388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: http://www.sciencephoto.com/image/225336/530wm/H4070136-US_physicist_Sheldon_Glashow_giving_a_lecture-SPL.jpg

Pada 10 Februari 2017, Universitas Gadjah Mada (UGM) menganugerahkan gelar Doktor Honoris Causa kepada Profesor Sheldon Lee Glashow, seorang penerima Hadiah Nobel bidang Fisika (1979). Dua hari sebelumnya, 8 Februari 2017, mulai pukul 13:30 WIB, Prof. Glashow hadir memberikan kuliah umum di Universitas Bina Nusantara dengan topik "How Basic Science Drives Technological Progress". Awalnya, saya tidak memiliki rencana untuk mengikuti kuliah ini, namun tepat pada pukul 11:48 WIB saya menerima surel yang isinya sangat menarik perhatian saya, sehingga kontan saja saya meregistrasikan partisipasi dan memasang aplikasi WebEx di laptop saya karena BINUS University memfasilitasi Webinar untuk kuliah ini. Padahal, surel tersebut hanya memuat sebuah Abstrak pendek dari pembicaraan Prof. Glashow. Bunyinya, sebagai berikut:

"It is often argued that society should invest exclusively in research that is likely to yield immediate practical benefits. There are argument that this policy is unwise and counterproductive. Had scientists such as Faraday and Rontgen focused their attention on socially relevant issues, we may never have developed X-rays and electric motors. It is true that today’s basic science is very costly and that its relation to technological development is often indirect. Nonetheless, this work continues to have an enormous impact on our lives. Indeed, the curiousity-driven search for fundamental knowledge is at least as important to human health and welfare as the search for solutions to specific practical problems."

Terjemahan bebasnya, sebagai berikut:

"Seringkali ada pendapat bahwa masyarakat harus berinvestasi secara eksklusif dalam penelitian yang mungkin untuk menghasilkan manfaat praktis langsung. (Kendati demikian) Ada argumen bahwa kebijakan ini justru tidak bijaksana dan kontraproduktif. Jika saja ilmuwan-ilmuwan seperti Faraday dan Rontgen memusatkan perhatian mereka pada masalah-masalah yang relevan secara sosial, kita mungkin tidak pernah mengembangkan sinar-X dan motor listrik. Memang benar bahwa ilmu dasar saat ini sangat mahal dan bahwa hubungannya dengan perkembangan teknologi sering bersifat tidak langsung. Meskipun demikian, karya (ilmu dasar) tersebut terus memiliki dampak yang besar terhadap kehidupan kita. Sesungguhnya, pencarian yang didorong oleh rasa ingin tahu akan pengetahuan dasar setidaknya sama penting untuk kesehatan dan kesejahteraan manusia dengan pencarian solusi untuk masalah-masalah praktis tertentu."

Mengapa mata saya mendadak terpaku pada Abstrak pendek itu? Di tengah-tengah iklim riset yg meminta manfaat atau penerapan praktis, Prof. Glashow justru menekankan sebaliknya, bahwa argumen kepraktisan dan relevansi sosial sebagai motif utama---bahkan satu-satunya---dari penelitian sesungguhnya malah tidak bijaksana dan melawan produktivitas. Pokok pikiran yang sama diulangi lagi dalam kalimat akhir, bahwa memenuhi kuriositas/keingintahuan tidak kalah urgennya dengan upaya pemecahan masalah praktis. Mengapa kata "at least as important..." dalam kalimat terakhir itu sangat sentral dalam pemahaman kita mengenai riset, sehingga perlu ditandaskan? Saya menduga Prof. Glashow berpijak atas kenyataan bahwa kata-kata tersebut hanya tinggal sebagai "kesadaran implisit" dalam banyak sivitas akademika; dalam arti belum dimengerti sepenuhnya, atau bahkan secara sistematis diabaikan oleh kalangan tertentu.

Penelitian Harus Bermanfaat? Bagi Siapa?

Sekarang, marilah kita bertanya: #Wahai Saudara-saudariku :) .... Jika kita setuju bahwa penelitian mesti bermanfaat bagi kesejahteraan manusia, bukankah peneliti (aktor penelitian) itu sendiri merupakan manusia? Dapatkah kita mengecualikan atau memisahkan peneliti dari himpunan/semesta umat manusia? Saya membayangkan, jika pemikiran Prof. Glashow dalam Abstrak di atas dikalimatkan secara berbeda. Meniru ungkapan SBY, mungkin beliau akan mengatakan, "#Saya #bertanya, apakah peneliti memang tak boleh sehat dan sejahtera (healthy and wealth)?" Lalu, saya tambahkan, "Apakah dia kehilangan haknya yang dijamin oleh konstitusi?" Bukankah Mukadimah Undang Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa "memajukan kesejahteraan umum" adalah salah satu tujuan bangsa Indonesia? Sementara itu, kesejahteraan umum dapat tercapai tidak terlepas dari kesejahteraan yang dipersepsikan oleh individu-individunya, termasuk individu peneliti.

Jangan kita lupa, rasa ingin tahu dan kesejahteraan itu berhubungan erat. Hal ini memiliki basis ilmiah. Dua komponen yang mendasari rasa ingin tahu---yakni (1) penggalian/eksplorasi (kecenderungan untuk mencari situasi yang baru atau menantang) serta (2) penyerapan/absorpsi (kecenderungan untuk melibatkan diri secara penuh dalam situasi tersebut yang dianggap menarik)---berasosiasi dengan indeks kesejahteraan mental (Gallagher & Lopez, 2007). Kesejahteraan mental yang dimaksud di sini bukan hanya sekadar tidak mengalami penyakit mental. 

Kesehatan dan kesejahteraan mental dalam hal ini adalah kombinasi antara kepuasan hidup yang nyata dan kecenderungan untuk mengalami emosi positif yang dominan (mengatasi emosi negatif) yang didasari oleh kesadaran akan proses terwujudnya nilai-nilai kehidupan terdalam yang dimiliki oleh manusia. Tidak perlu membayangkan proses memenuhi rasa ingin tahu melalui penelitian sebagai sebuah proses yang "murni egotistik" karena penelitian itu sendiri acapkali, bahkan hampir pasti, melibatkan interaksi antara peneliti dengan orang lain, baik interaksi sosial yang baru diciptakan maupun yang diperkuat melalui serangkaian tahapan riset (hingga penulisan), dan hal ini menghadirkan kesejahteraan sosial tersendiri.

Jangankan dalam dunia penelitian, bahkan dalam dunia kerja sehari-hari, Wang dan Li (2015) memperkuat penjelasan tentang asosiasi yang terbentuk antara rasa ingin tahu dan kesejahteraan mental. Mereka menyatakan bahwa rasa ingin tahu mampu membangkitkan inisiatif pribadi, yaitu perilaku proaktif (berhubungan dengan eksplorasi tadi), bukan reaktif, memulai bertindak dari diri sendiri, dan kegigihan untuk mencapai tujuan. Selanjutnya, inisiatif pribadi ini meningkatkan kesejahteraan psikologis dan kualitas hidup serta meredam kelelahan emosi. 

Bagaimana penerapannya dalam dunia riset? Situasi psikologis semacam itulah yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas (termasuk dalam hal riset). Jadi, berbicara tentang "kesejahteraan peneliti" tidak melulu berkenaan dengan dana penelitian. Dana penelitian mungkin syarat perlu, sedangkan pemenuhan rasa ingin tahu adalah syarat cukupnya. Para dosen dan peneliti yang tercegah atau terhambat pemenuhan akan rasa ingin tahu ini (entah karena tugas-tugas administratif yang luar biasa, atau karena roadmap penelitian yang menekankan aplikasi/terapan hasil, atau karena "penelitian pesanan", dll) sesungguhnya belum sejahtera walaupun insentif yang diperolehnya mungkin tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun