Mohon tunggu...
Juneman Abraham
Juneman Abraham Mohon Tunggu... Dosen - Kepala Kelompok Riset Consumer Behavior and Digital Ethics, BINUS University

http://about.me/juneman ; Asesor Kompetensi - tersertifikasi Badan Nasional Sertifikasi Profesi; Adjunct Lecturer di Sekolah Tinggi Kepemerintahan dan Kebijakan Publik (SGPP Indonesia); Pengurus Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI) bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Psikologi Budaya Instan

25 April 2014   04:06 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:13 1572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ingin makan, instan. Ingin kaya, instan. Ingin terkenal, instan. Ingin cantik dan langsing, juga instan. Keinginan untuk mendapatkan segala sesuatu dengan cepat dan mudah menjadi tuntutan orang saat ini. Tak heran, budaya instan pun telah menjadi budaya baru bagi masyarakat modern. Bagaimana cara bertahan di tengah budaya instan yang kian marak? Berikut ini adalah butir-butir pemikiran Juneman Abraham, psikolog sosial dari Universitas Bina Nusantara.


Apa yang memicu budaya instan?

Pertama, serbuan tuntutan hidup, kompetisi, serta semarak dan serba cepatnya perubahan di lingkungan. Sementara itu, manusia secara biologis maupun psikologis memiliki kapasitas yang terbatas untuk mengolah informasi, melakukan refleksi/permenungan, dan merencanakan adaptasi. Jalan pintas lalu nampak menjadi pilihan yang "realistik dan rasional" di saat orang tidak mampu mengimbangi serbuan perubahan tersebut.

Kedua, perspektif waktu yang kian memendek. Hal ini dipengaruhi oleh revolusi teknologi yang memangkas ruang dan waktu, yang menyediakan cara untuk mamanipulasi badan serta benda-benda seturut keinginan kita secara cepat dan murah, serta kultur yang memuja-muja kecepatan sebagai ukuran pertama kesuksesan.

Ketiga, keterbukaan informasi dan nyaris tak terbatasnya bahan tontonan di sekitar kita. Dengan adanya media jejaring sosial (facebook, twitter, dsb), orang dengan mudah melakukan perbandingan antara dirinya dengan orang lain. Pada saat melakukan pembandingan itu, orang mudah mendapati kenyataan bahwa dirinya masih "kalah atau di bawah" dari orang lain (karena seperti kata pepatah "di atas langit pasti ada langit"). Ditunjang oleh suburnya ungkapan motivasional, "Kalau orang lain bisa, mengapa saya tidak bisa? Kalau orang lain bisa mencapainya dalam 3 jam, mengapa saya harus 3 hari?", lantas membuat orang mengejar terus untuk dapat mencapai apa yang bisa dicapai oleh orang lain (yang tidak ada habisnya). Frustrasi gampang menghinggapi dan menghalalkan segala cara bisa menjadi pilihan terdekat.

Keempat, pertukaran sosial yang dilandasi oleh materialisme dan imajinasi-imajinasi yang tidak lagi mengindahkan pakem moral. Sebagai contoh: Dalam sejarah pernah terjadi bahwa pengampunan dosa dan keselamatan spiritual ("masuk surga") dibayangkan seolah-olah bisa diperoleh dalam sekejap dengan cara menyumbang uang dan fasilitas kepada tempat ibadah. Cinta pasangan hidup seolah-olah bisa dilambangkan oleh perhiasan mahal. Gelar akademik bisa diperoleh dengan menyumbang uang ke kampus.

Kelima, apabila mengikuti penjelasan teori psikologi evolusioner: nenek moyang manusia tidak memiliki alasan yang kuat untuk memiliki tujuan hidup jangka panjang. Hal ini karena yang terpenting bagi mereka pada saat itu adalah survival (bertahan hidup) "pada hari ini" di tengah-tengah buasnya alam. Menurut psikologi evolusioner, penekanan pada masa kini pada nenek moyang kita itu mewariskan "program pikiran" serupa pada generasi-generasi berikutnya, termasuk generasi kita. Pengutamaan tujuan jangka pendek menjadi fokus pikiran.

Keenam, dilupakannya nilai-nilai religius yang menganjurkan kesabaran dan pengendalikan diri untuk mencapai sesuatu yang lebih agung atau mulia. Hal ini karena, disadari atau tidak, terjadi pergeseran dari Tuhan menjadi objek iman, menjadi: pekerjaan, status, harta, prestise, fashion, dan selera menjadi objek iman. Pendidikan gagal mengajak peserta didik untuk mampu mengambil jarak dan melampaui hasrat-hasrat diri sendiri, serta gagal menjadikan Tuhan sebagai pusat kehidupan.

Baik atau burukkah budaya instan?

Budaya instan dapat berdampak buruk apabila melanggar prinsip-prinsip moral, seperti kejujuran. Sebagai contoh: menggunakan joki agar lulus ujian masuk perguruan tinggi. Budaya instan juga dapat menyebabkan frustrasi, kemarahan, bahkan depresi. Singkatnya, kesehatan jiwa memburuk. Hal ini karena dalam budaya instan terdapat asumsi bahwa kita dapat dengan instan mencapai apapun yang kita kehendaki. Padahal kenyataannya adalah tidak semua yang kita kehendaki dapat kita capai, apalagi dengan mudah dan cepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun