Mohon tunggu...
Junaidi Muhammad
Junaidi Muhammad Mohon Tunggu... -

Bapak dengan 5 anak hebat, single parent, dan survivor gagal ginjal. Tujuan saya menulis untuk memotivasi sesama agar tetap kuat bertahan dalam sakit dan cobaan hidup yang mendera, serta meyakinkan bahwa kalian yang senasib dengan saya tidak sendirian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Persimpangan Jalan

5 Desember 2017   19:24 Diperbarui: 5 Desember 2017   20:28 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kematian, nasib dan jodoh adalah hak prerogatif Tuhan semesta alam. Manusia hanya diberi ruang untuk berusaha, berikhtiar serta ber-tafakur atas apapun hasil yang diberikan oleh-Nya. Gagal ginjal yang mengharuskan saya untuk menjalani Hemodialisa 2x seminggu, membuat saya tersadar dan banyak berpikir. 

Sempat berada pada titik 'menyalahkan' Tuhan, kini saya sudah dapat menerima bahkan mensyukuri kondisi yang telah hadir dan menemani selama hampir dua tahun terakhir. Hikmah yang paling saya rasakan adalah saya merasa diberi kesempatan untuk beristirahat sembari memaknai kehidupan dengan bijak setelah hampir 50 tahun segar bugar dan maksimal dalam beraktifitas.

Tahun 1966, saya dilahirkan dari pasangan petani di sebuah desa kecil 22 km jauhnya dari kota Sumbawa. Saya dan ketujuh saudara saya terbiasa dengan rutinitas membantu orang tua di sawah, ladang, kandang dan tegalan. Hidup keluarga kami dan mayoritas keluarga lain di kampung pada saat itu terbagi pada tiga fase dalam setahun; sepertiga tinggal di desa, sepertiga di ladang dan sepertiga di sawah. Pola pikir orang tua pada saat itu (termasuk orang tua saya), pendidikan formal menjadi prioritas kesekian dan bukan penting.

Dibangunkan sebelum subuh, shalat, sarapan dan langsung beraktifitas di ladang menjadi sehari-hari kami sebelum berangkat sekolah. Terbatasnya tenaga kerja untuk lahan pertanian yang luas dan jumlah hewan ternak yang banyak, menjadi alasan para orang tua di desa kami mempekerjakan anak-anak mereka sejak usia belia, yang otomatis telah menempa kami menjadi sosok yang lebih tangguh dan kuat, baik secara fisik maupun mental.

Selepas menyelesaikan jenjang SMP saya meninggalkan kampung kecil saya dan berangkat ke Kota Sumbawa untuk melanjutkan pendidikan SMA. Dengan bermodalkan tekad, sekarung beras, beberapa ikat kayu bakar, ikan asin dan bumbu dapur saya mantap berangkat. Melanjutkan pendidikan di SMA Muhammadiyah Sumbawa, saya dititipkan di rumah kerabat yang praktis mengharuskan saya harus membantu mereka dalam mencangkul, membajak, memberi makan dan minum ternak setiap hari sebelum berangkat ke sekolah sebagai kompensasinya.

Ditempa dengan pola didik yang disiplin dan tegas sedari kecil, membuat saya menyelesaikan jenjang SMA dengan prestasi sangat baik dengan sekaligus sederet pengalaman organisasi; Ketua OSIS SMA Muhammadiyah Sumbawa dan Ketua Ikatan Pelajar Muhamadiyah (IPM) Tingkat Kabupaten. Pengalaman organisasi tersebut menjadi modal dasar yang menghantarkan saya mendapatkan beasiswa ikatan dinas di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dengan konsentrasi Perbandingan Agama. 

Mewakili daerah dan diutus langsung oleh Pimpinan Muhammadiyah wilayah Nusa Tenggara Barat, saya berangkat ke Pulau Jawa untuk mengikuti program peng-kader-an Pimpinan Muhammadiyah Pusat berbasis pondok dan kampus di Pondok Pesantren Hajjah Nuriyah, Shabran yang berlokasi di Makam Haji Surakarta.

Dinamika kehidupan pembelajaran di kampus dan pondok berjalan normal, namun tidak berbanding lurus dengan kehidupan finansial saya sebagai mahasiswa. Dukungan finansial dari beasiswa yang tidak pernah saya dapatkan dengan penuh, membuat saya harus memutar otak untuk mendapatkan rupiah. Mulai dari mengumpulkan koran bekas, juru ketik, hingga menjadi wartawan lepas baik bagi majalah kampus maupun majalah swasta pernah saya lakoni. 

Selain menjadi bagian dari pers kampus, saya juga tergabung dalam Senat Mahasiswa dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Pada pertengahan tahun 1989, saya pulang ke Sumbawa untuk pengabdian wajib sebagai guru di SMA Muhammadiyah dengan gelar Sarjana Agama tersemat di akhir nama. Beberapa saat menjadi guru di bumi kelahiran, saya memutuskan untuk kembali hijrah ke Jawa Tengah tepatnya kota Jepara. Hidup tidak serta merta menjadi mudah. 

Sempat menjadi pengangguran terdidik selama 6 bulan, saya kembali memutuskan hijrah ke Godong, sebuah kecamatan kecil di Kabupaten Grobogan pada awal 1994. Dengan anugerah dua anak yang masih kecil-kecil pada saat itu, saya kerahkan tenaga untuk pendapatan yang layak mulai dari tenaga bantu kantoran, guru honorer hingga mandor proyek saya tekuni demi keluarga kecil saya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun