Mohon tunggu...
Junaidi Muhammad
Junaidi Muhammad Mohon Tunggu... -

Bapak dengan 5 anak hebat, single parent, dan survivor gagal ginjal. Tujuan saya menulis untuk memotivasi sesama agar tetap kuat bertahan dalam sakit dan cobaan hidup yang mendera, serta meyakinkan bahwa kalian yang senasib dengan saya tidak sendirian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kesendirian dalam Cobaan

25 November 2017   16:18 Diperbarui: 25 November 2017   16:24 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tiga tahun sudah almarhumah pergi (sejak 11 November 2014). Kematian yang masih membekas dihati saya dan anak-anak serta handai taulan. Kami sudah ikhlas dan semoga Bunda, panggilan sayang saya buat beliau dilapangkan kuburnya, disinari, dan ruhnya berkumpul bersama orang-orang mukhlisin, amin.

Istri saya divonis  tumor jinak (namun berperilaku ganas) Thymoma Mediastinum stadium empat. Tumor tersebut menempel antara paru-paru dan jantung sehingga sulit untuk dioperasi. Kami terlambat mengetahuinya. Bermula ketika perjalanan religi kami ke baitullah. Ibadah umrah Maret 2013 menjadi "hadiah terindah" untuk Bunda. 

Sesak napas pertama dirasakan pada putaran ketiga saat ritual sa'i antara bukit shafa dan marwah sekitar jam sebelas malam. Air zam-zam menjadi ikhtiar terapi pertama yang Bunda minum sambil sejenak beristirahat. Alhamdulillah dengan tekad penuh tanpa mau menggunakan kursi roda, prosesi sa'i dapat beliau selesaikan.

Rasa khawatir mulai melanda hati saya ketika itu. Kebingungan mengindikasi apa gerangan yang terjadi dengan fisik istri saya? Tersadar dari lamunan ketika ia meminta; "Pak kita tidur di masjidil haram saja. Nggak usah pulang ke hotel". Tanpa banyak pertimbangan saya turuti permintaannya. Tujuan istri saya untuk pergi umroh tidak lain hanya untuk khusyuk beribadah. 

Hal itu pula yang disampaikan kepada anak-anak, jika Ibunya tidak akan menelpon atau berkabar selama ibadah umroh berlangsung, namun do'anya akan selalu dipanjatkan untuk kebaikan anak-anaknya. Istri saya berprinsip hanya akan fokus mencari keridhoan-Nya, sejenak melupakan dunia termasuk perihal darah dagingnya di rumah. 

Beliau khawatir dengan menelpon anak-anak akan timbul rasa khawatir dan rindu yang berlebihan yang mungkin memecah kekhusyukan hubungannya dengan Illahi, kesempatannya bermesraan dengan pencipta yang hanya beberapa hari saja dapat dinikmati di tanah suci. Semalaman kami habiskan waktu di masjidil haram untuk bertafakkur di depan Ka'bah sambil sesekali tiduran. Serasa nikmat sekali berada dipangkuan Illahi Rabbi.

Total tiga hari di Mekkah, dua malam kami habiskan untuk ber-itikaf di masjid. Rasa sakit tidak lagi dirasakan oleh bunda. Singkat cerita sampailah waktu kami kembali ke rumah. Bergegas Bunda kami bawa ke dokter. Diagnosa awal, bunda terserang penyakit jantung dan selama beberapa bulan ia mengkonsumsi obat jantung. 

Namun seiring waktu, sesak nafas masih dirasakan bahkan semakin parah, kesulitan tidur yang kian hari makin menyusahkan membuat Bunda berinisiatif untuk kembali memeriksakan kondisinya, kali ini kami memutuskan untuk pergi ke rumah sakit di kota dengan dokter jantung yang lebih expert. Hasilnya, dokter jantung heran karena hasil rekam EKG baik dan normal, itu artinya jantung Ibu normal, kata dokter. "Namun saya curiga paru-paru ibu bermasalah." 

Malam itu juga, dokter jantung tersebut merujuk Bunda untuk rontgen paru-paru. Benar saja, hasil rontgen paru, hampir keseluruhan paru-paru Bunda berwarna putih tertutup cairan. Segera dokter jantung tersebut meng-oper Bunda ke dokter spesialis paru yang kebetulan sedang praktek pada malam itu. Setelah membaca hasil rontgen, dokter paru dengan serius mengatakan kemungkinan Bunda menderita kanker paru, "Semoga saja saya yang salah prediksi, kita lihat nanti hasil CT Scan dan biopsi. 

Sekali lagi semoga saya salah." ujar dokter tersebut saat itu. Dokter menyarankan langsung opname malam itu juga, tapi Bunda ngeyel dan masih tidak percaya, seolah ingin mengabaikan kalimat dokter karena Ia merasa selama ini selalu menerapkan pola hidup sehat, di rumah tidak ada yang merokok, dan jarang berpergian sehingga menganggap dirinya minim terpapar polusi udara dan mana mungkin bisa terkena kanker paru?

Dokter saat itu mulai geram dan marah karena pasiennya ngeyel dan mengusir kami dari ruangan. Namun Bunda menghiraukannya. Bunda dengan anak sulung saya masih berpekulasi mungkin saja Ibunya hanya menderita paru-paru basah (logika simpel versi orang awam, paru-paru terendam cairan = paru-paru basah). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun