Mohon tunggu...
Junaidi Khab
Junaidi Khab Mohon Tunggu... Editor -

Junaidi Khab lulusan Sastra Inggris UIN Sunan Ampel Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Aku Memakan Produk Haram

2 November 2017   16:49 Diperbarui: 2 November 2017   16:52 1525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar diambil dari: herbasihombing.

Oleh: Junaidi Khab

Pada saat aku masih kanak-kanak merek penyedap rasa (Ajinomoto) dikabarkan mengandung unsur babi. Pada waktu itu, aku masih duduk di bangku SD (Sekolah Dasar) sekitar kelas lima, tahun 2000-an. Ibu yang sudah selesai memasak dan menggoreng ikan, mendengar kabar bahwa produk itu mengandung unsur babi. Sontak, masakan dan gorengan yang dibubuhi penyedap rasa itu dibuang begitu saja.

Dalam hatiku, aku merasa eman jika ikan-ikan itu dibuang. Karena pada waktu itu, ibu menggoreng ikan pindang kesukaanku. Tapi, apalah daya, kami sebagai masyarakat yang menganut agama Islam dilarang makan unsur babi. Ini memang karena beberapa alasan, seperti banyak penemuan bahwa daging babi mengandung penyakit. Ikan pindang kesukaanku pun dibuang oleh ibu.

Bukan hanya ibu yang membuang masakan pada saat itu. Tetapi, para tetangga pun membuang masakannya yang terlanjur telah dibubuhi penyedap rasa tersebut. Bahkan, satu wajan besar, karena tetanggaku itu sedang membangun rumah. Sungguh miris saat aku melihat ikan yang sudah matang itu dibuang sia-sia. Memang, para tetangga dan keluargaku sendiri mengeluhkan hal itu. Tetapi, hanya sebatas keluhan saja. Dengan kata lain, aku telah memakan barang yang diharamkan oleh agama karena mengandung unsur babi. Berdosakah? Tidak, karena aku dan keluarga tidak tahu hal itu dan pemerintah tidak memberi label "haram" pada produk tersebut.

Baru setelah tahu bahwa produk itu mengandung unsur babi, keluargaku dan para tetanggaku memakai produk lain (Sasa nama produknya jika tak salah), yang katanya halal. Sampai aku berusaha membandingkan bungkusnya pada saat itu. Memang benar, pada produk penyedap rasa yang ditengerai ada unsur babinya tidak tertera bacaan "halal". Sementara pada produk yang satunya, ada bacaan "halal".

Mulai saat itu, kelurgaku dan para tetangga beralih menggunakan penyedap rasa Sasa. Lama sekali pokoknya, penyedap rasa itu menjadi pengganti Ajinomoto. Padahal, terus terang, lebih sedap Ajinomoto untuk penyedap rasa. Ada beberapa tetangga yang mengatakan bahwa bisa jadi benar produk Ajinomoto mengandung unsur babi, karena rasanya memang sedap.

Setelah itu, kiai di kampungku mendengar bahwa seorang tetanggaku telah membuang ikannya yang banyak itu. Kiai itu malah menyayangkan. Sebenarnya, ikan-ikan yang terlanjur dibubuhi bumbu Ajinomoto itu tidak usah dibuang. Kiai itu beralasan, selain memang mubadzir (terbuang, dalam ajaran agama memang tidak diperbolehkan) juga kabar itu hanya didengar menurut kabar angin. Dari mulut ke mulut. Bahkan, masyarakat yang tidak tahu tentang suatu hal (khususnya produk Ajinomoto benar-benar mengadung unsur babi atau tidak), dalam hukum Islam tidak ada tuntutan hukum, alias tidak masalah. Apalagi, kabar itu hanya dari mulut ke mulut.

Namun, setelah sekian tahun lamanya, keluargaku dan para tetangga kembali menggunakan penyedap rasa Ajinomoto. Hal itu ditunggu-tunggu sekian lama. Karena diakui atau tidak, Ajinomoto memang sedap. Namun, sebelum memakai produk itu, ibuku memintaku agar mencari label "halal" pada bungkus penyedap rasa itu. Benar, setelah kubaca, lebel itu sudah ada. Mulai saat itu, hingga saat ini, keluargaku dan para tetangga menggunakan Ajinomoto sebagai penyedap rasa.

Label "halal" pada suatu produk memang sangat penting. Hal ini dilakukan oleh pemerintah bukan semata untuk persoalan bisnis, tetapi demi kemaslahatan bagi umat. Dimana, agar masyarakat tidak memakan hal-hal yang membahayakan bagi dirinya. Salah satu terobosan yang dilakukan oleh pemerintah, yaitu program sertifikasi produk. Tapi, kadang aku menyayangkan dan menganggap pemerintah itu tidak kompatibel dalam hal sertifikasi produk. Hanya sertifikasi produk berlabel "halal" yang dijadikan progmramnya. Tetapi, untuk sertifikasi produk berlabel "haram" tidak ada.

Aku dan beberapa tetangga sangat terbantu dengan keberadaan label "halal" pada suatu produk. Hal itu memantapkan dan meyakinkan untuk menggunakan produk itu tanpa ragu. Namun semestinya, produk-produk yang haram juga dituntut oleh pemerintah agar menggunakan label (label "haram") agar masyarakat juga mantap untuk tidak menggunakan produk itu. Misalkan produk yang memabukkan seperti bir, vodka, dan lainnya. Racun tikus, obat kutu, pestesida, dan produk-produk lainnya yang membahayakan seharusnya juga diberi label "haram" demi memantapkan masyarakat agar tidak menggunakan produk itu.

Yogyakarta, 2 November 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun