Mohon tunggu...
Junaidi Mamuntu
Junaidi Mamuntu Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

Buku, Kopi, Musik dan Jejak Langkah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Potensi Pribumisasi Ekonomi Islam

30 Januari 2023   19:31 Diperbarui: 1 Januari 2024   20:47 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Situasi keterbelakangan, kemelaratan dan kemiskinan agaknya merupakan kosakata yang menjerat umat islam global. Problem ini membuat umat islam tidak bisa bersaing pada tataran global. apabila dimasa lalu umat islam sebagai "produsen" dari peradaban kemanusiaan, tapi dimasa kini umat islam harus rela menjadi "konsumen" dari peradaban umat lain. Ibnu khaldun menyebut  fenomena ini sebagai rotasi peradaban (al-tadawul al-hadhari), bahwa setiap peradaban akan mengalami jatuh bangun, [Zuhairi misrawi-Islam Progresif, 2005]. Disisi lain, Fritjouf Schoun mengatakan bahwa semua peradaban mengalami penurunan tetapi dengan cara yang berbeda. Kesalahan timur yang menurun adalah bahwa timur tidak lagi berpikir, kesalahan barat adalah barat berpikir terlalu banyak tapi banyak juga berpikir keliru.

Menurut Nasr Hamed Abu Zayd ada tiga hal mendasar yang menjadi kebutuhan umat islam zaman kontemporer yakni Rasionalisme, Kebebasan, Keadilan. Prinsip rasionalisme sebagai perlawanan terhadap fanatisme, sebab fanatisme adalah sumber kejahilan; prinsip kebebasan sebagai kebutuhan mendasar banyak negara-negara muslim saat ini dan prinsip keadilan yang menjadi puncak dambaan dan impian paling jauh panggang dari api dibanyak negara-negara muslim. Dengan rasionalisme, dunia islam dapat lebih mengembangkan bagian-bagian yang mandek dari pemikiran keislaman, sekaligus diharap mampu memberantas berbagai kebodohan sosial-politik-ekonomi yang berlanjut sampai saat ini. Kebebasan adalah iklim yang memungkinkan umat islam untuk mengembangkan segenap potensi kemanusiaan mereka dan keadilan menjamin terselenggaranya peri kehidupan masyarakat secara lebih makmur, sehingga akan membangkitkan peradaban islam (Islamic civilization) dan peradaban kemanusiaan (Human civilization) yang mencerahkan dan membebaskan.

Ekonomi islam merupakan sebagian produk pemikiran yang tak lepas dari kejayaan peradaban islam (Islamic civilization) pada masanya. Secara historis konsep dan praktik ekonomi islam sebagianya memang sudah ada sebelum islam, yang merupakan produk peradaban masyarakat arab/timur tengah sejak sebelum 'Islam sebagai agama' ada pada abad ke 7 masehi. [A. Djalil-Fiqh Rakyat, 2000]. Pemikiran islam dalam bidang ekonomi mengalami dinamika setelah dikembangkan lebih lanjut oleh para filosof dan ilmuwan diantaranya Ibnu khaldun, Alghazali, Asy-syaibani, Ibnu Taimiyah, Ibnu Rusyd, Abu Yusuf, Almawardi, Mozer Khaf, Muhammad Baqr Al-Sadr, Umer chapra dan lain-lain.  [A. Helim-Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, 2019].

Pada saat awal Islam muncul, Nabi Muhammad menalar apa yang baik dan benar dari praktik dan konsep ekonomi pada peradaban arab pra-islam yang sudah berkembang, seiring waktu kemudian pemikiran ekonomi Islam mengalami inovasi sampai pada abad ke 21 sekarang. Dalam diskursus ekonomi islam penalaran demikian mungkin merupakan suatu hal yang substansial. Dalam Ilmu fiqh disebut teori maslahat (mashalih al-'ibad), bahwa yang terpenting dalam nalar ekonomi islam yang sekaligus membedakan ekonomi islam dengan ekonomi kapitalistik atau komunistik---selain pada konteks sumber epistemiknya---yakni orientasi yang mengutamakan pada kemaslahatan atau kesejahteraan bagi umat islam, masyarakat umum, dan atau umat manusia secara keseluruhan. Hal itu sesuai dengan doktrin Islam rahmatan lil alamin. [A. Wahid-Islamku Islam Anda Islam Kita, 2006].

Soalnya kemudian bagaimana ilmu ekonomi yang inti bahasannya domain material kompatibel dengan ajaran islam yang inti bahasannya domain non-material? Dalam pemikiran Harun Nasution, ajaran islam dibedakan dua kelompok ajaran : Ajaran qath'iy dan ajaran zhanny. sebelas duabelas dengan pemikiran Haidar bagir dalam distingsinya mengenai Islam Tuhan & Islam Manusia. Ajaran Islam qath'iy dan zhanny, yakni ajaran yang bersifat absolut yang terdapat dalam alquran/as-sunnah dan ajaran yang bersifat relatif dalam filsafat, tafsir, fiqh, tassawuf dan lain sebagainya. Dalam distingsi tersebut ekonomi islam merupakan ajaran yang bersifat relatif. [M. Riana, dkk-Pemikiran Islam di era Postmodern, 2017]. Barangkali terkait dengan islamisasi sains. Menurut Dawam Rahardjo, islamisasi sains itu bermaksud antara lain : pertama, menerima sains barat sebagai bagian dari kebudayaan universal, hanya saja soalnya pada pendasaran nilai karena sains barat non-etis atau bebas nilai sehingga dalam konteks itu islamisasi sains adalah suatu usaha memberikan dasar etika terhadap sains, tapi dasar-dasar etika itu sebetulnya lebih tepat diterapkan pada sains terapan semisal ilmu pertanian/ilmu teknologi dan sebagainya. Sedangkan sains umum yang universal itu memang seharusnya bebas nilai artinya tidak didasarkan pada pengembangan suatu nilai-nilai tertentu tetapi didasarkan pada ontologi atau pembahasan mengenai kondisi atau permasalahan secara objektif yang dihadapi oleh masyarakat. Kedua, islamisasi sains oleh Sayyid naquib al-atas adalah gagasan untuk mengembangkan sains modern yang  didasarkan pada suatu epistemologi atau cara pandang dan teori-teori yang berasal dari nilai-nilai islam. Pengembangan epistemologi islam ini memang menghendaki suatu kajian mengenai ajaran-ajaran islam yang bersumber pada alquran & assunah karena memang tidak mudah sehingga usaha mengembangkan epistemologi islam hingga kini mengalami kemandekan sedangkan yang lebih berkembang adalah gagasan dari ismail faruqi yang menimbulkan apa yang kemudian sekarang ini disebut kajian/pengkajian sedangkan gagasan epistemologi islam oleh sayyid naquib al-atas itu mengalami kemandekan. Ketiga, ialah Kuntowijoyo yang mengusulkan 'saintifikasi islam' adalah suatu konsep yang mengaktualisasikan gagasan sayyid naquib al-atas soal epistemologi islam, namun karena epistemologi Islam sulit diintegrasikan dan dikembangkan maka kuntowijoyo memberikan solusi 'saintifikasi islam' yaitu memperlajari ajaran-ajaran islam yang bersumber dari alquran & as-sunnah dengan menggunakan metode ilmiah (sainted method) dalam ilmu alam, ilmu matematika atau ilmu sosial humaniora. Barangkali disitulah kaitan dialektis antara yang absolut dan yang relatif, yang subjektif dan yang objektif, yang material dan yang non-material atau yang partikular dan yang universal.

Terlepas dari problem islamisasi sains atau saintifikasi islam. Dalam diskursus kajian ekonomi Islam spesifik dalam diskursus fiqh muamalah salahsatu hal yang mungkin soal ialah partikularisasi diskursus  yang diajarkan di 'perguruan tinggi' yang indikasinya didominasi oleh konsep ekonomi dalam konteks sosio-kultural-historis Islam ditimur tengah. Kenapa? Apakah ekonomi Islam sebagai sebuah diskursus keilmuan yang oleh karenanya nampak partikular atau sesungguhnya partikural/subkultural? Secara antropologi, tidak ada budaya yang sama dan sebangun antara satu dengan yang lain. Seperti budaya amerika jelas berbeda dengan budaya nusantara. Maka nilai-nilai budaya jelas sangat beraneka ragam sesuai dengan latar belakang sejarah, geografis, dsb [Johan Setriawan-Pemikiran Posmodernisme, 2018]. Cita rasa dan budaya manusia sangat beragam karena bisa sangat berbeda antara satu daerah dan daerah lain. Orang jawa memiliki cita rasa tersendiri yang berbeda dari orang-orang irian, begitu juga dengan orang indonesia memiliki cita rasa yang berbeda dari orang di dunia barat [Luthfi Assyaukani-A. Budiman dan Kritik Ilmu sosial di Indonesia, 2006]. Menurut Musa Asy'arie dalam antropologi ekonomi islam sesungguhnya kegiatan ekonomi sebagai bagian dari kebudayaan yang menyangkut lapangan kehidupan yang amat luas, sifatnya dinamis dan beraneka ragam bentuk dan kegiatannya. Maklumlah seandainya ada petitih 'ekonomi islam adalah ekonomi yang kearab-araban', beda dengan asumsi 'budaya timur tengah adalah bagian yang mempengaruhi diskursus ekonomi islam'. Dalam konteks itu persis menurut Donald katzner bahwa  kegiatan ekonomi adalah bagian dari kebudayaan, baik kebudayaan sebagai proses maupun kebudayaan sebagai produk. Ketiga, diskursus ekonomi islam juga sangat dominan membahas pemikiran ekonomi islam pada sektor finansial (ribawi) dan sedikit membahas diskursus ekonomi pada sektor riil. Padahal menurut Musa Asy'arie juga bahwa ekonomi islam tidak hanya membicarakan aspek keuangan saja, tetapi juga terkait dengan semua aspek peradaban islam dalam berbagai aspek kehidupan manusia yang kompleks.

Oleh karena itu apakah diskursus ekonomi islam mungkin---dalam isu ekonomi teoritik atau aktual---terhadap soal-soal berikut : Bagaimana pemikiran ekonomi islam memandang isu masyarakat agraris? Bagaimana pemikiran ekonomi islam memandang isu masyarakat bahari? Bagaimana pemikiran ekonomi islam terhadap isu lingkungan hidup atau eksploitasi alam? Bagaimana pemikiran ekonomi islam terhadap isu digital ekonomi? Bagaimana pemikiran ekonomi islam mengenai manajemen kepemilikan data/kontrol data, distribusi data, atau perdagangan data digital? Bagaimana pemikiran ekonomi islam mengenai kebijakan publik dan ekonomi usaha kecil? Bagaimana pemikiran ekonomi islam terhadap isu energy? Bagaimana pemikiran ekonomi islam mengenai konsumerisme masyarakat urban? Bagaimana Pemikiran ekonomi islam mengenai isu pekerja migran? Bagaimana pemikiran ekonomi islam mengenai inovasi teknologi AI (artificial intelligence) atau Ml (machine learning) dan semacamnya dalam aktivitas ekonomi? Bagaimana pemikiran ekonomi islam mengenai kapitalisme abad 21? Bagaimana pemikiran ekonomi islam mengenai korupsi? Bagaimana pemikiran ekonomi islam mengenai pembangunan negara dunia pertama atau pembangunan, modernisasi, kemiskinan, ketertinggalan, negara-negara dunia ketiga? Bagaimana pemikiran ekonomi islam terhadap ekonomi tradisional yang mulai tergerus oleh globalisasi ekonomi neolib? Bagaimana pemikiran ekonomi Islam terhadap manajemen ekonomi tradisional berbasis Iptek? Bagaimana pemikiran ekonomi islam terhadap konsep ekonomi tradisional? atau adakah ekonomi islam khas islam yang berkembang di nusantara?

'Contoh kongkrit di minahasa---dalam 4 soal terakhir---ada praktik dan konsep ekonomi "mapalus" yang dijalankan oleh masyarakat dimana kegiatan ekonomi yang dilakukan secara gotong-royong oleh masyarakat petani dalam kegiatan produksi atau konsumsi. Sebuah kebiasaan lama yang baik, [Roderick, 2022]. Di kampung saya di pulau sangihe, terdapat konsep dan praktik ekonomi masyarakat bahari yang disebut dengan malombo. Malombo merupakan tradisi masyarakat pesisir dalam menangkap ikan tude/ikan selar. Malombo juga terdapat di pulau talaud sampai miangas dan marore, [Paeni-Sejarah Kebudayaan Sulawesi-1995]. Di Bolaang Mongondouw tradisi ekonomi gotongroyong itu disebut pogogutat [Sumitro Tagela, 2020], belum lagi di Kalimantan, Jawa, Papua, Sumatera, Filiphina, Thailand, Malaysia, Singapura, Kamboja atau entitas-entitas partikular lainya dari---seandainya benar ada mesin waktu seperti di film-film maka saya akan berkunjung ke era keemasan dan kejayaan majapahit konon bukan kembali ke sana tapi belajar dari sana---peradaban nusantara konon.

Jadi aktivitas ekonomi dengan corak konsep lokal semacam "malombo/mapalus/pogogutat, dan lain-lain" itu mungkin berdampak positif dan konstruktif bagi produktivitas dan pendistribusian ekonomi masyarakat petani, nelayan, dan lain-lain. apalagi jika diinovasi dengan temuan-temuan sains dan teknologi digital mutakhir mungkin hasilnya---material maupun immateril---akan berbeda dengan sebelumnya. oleh karena itu apabila dilihat dari sisi teori maslahat sangat mungkin praktik ekonomi lokal (local wisdom) tersebut mengandung banyak maslahatnya.' sebabnya dengan menggunakan 'kacamata' teori maslahat---bahwa setiap masyarakat dimana terdapat praktik dan konsep dalam hal ekonomi yang 'koheren' dengan prinsip (mashalih al-'ibad) maka hal itu barangkali adalah ekonomi islam. Dengan kata lain sebuah (way of life) atau pola pikir (manhajul fikr) ekonomi yang mengandung didalamnya nilai-nilai islam. Dalam konteks itu, Imajinasi lebih jauhnya mungkin---meminjam Pribumisasi Islam khas Islam Indonesia ala Gusdur dan lain-lain atau Khun (sifthing paradigm), ekonomi islam atau 'gaulisasi perspektif' ekonomi islam---atau sebut saja 'pribumisasi ekonomi islam'. Dalam hal ini---penidakan pada antagonisme partikularisme atau universalisme'---siapa tahu akan "memperkaya" diskursus ekonomi dalam Islam.

Wallahualam bissawab 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun