Mohon tunggu...
Junaedi
Junaedi Mohon Tunggu... Lainnya - Pencangkul dan Penikmat Kopi

Lahir dan tumbuh di Wonosalam, kawasan pertanian-perkebunan dataran tinggi di Jombang bagian selatan. Seorang pencangkul dan penikmat kopi. Dapat ditemui di www.pencangkul.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Bersama Kompasiana Mengglobalkan Wisata Desa

30 Oktober 2014   16:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:10 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BERGABUNG dengan Kompasiana sejak tanggal 25 Desember 2008, atau hampir 6 tahun setelah sebelumnya bergabung dengan Kompas Kita atau Koki meskipun lebih banyak menjadi silent reader daripada memposting tulisan. Awal-awal bergabung dengan kompasiana, yang ketika itu (mungkin) jumlah anggotanya masih bisa dihitung dengan jari, saya tak langsung memposting tulisan. Dan hingga saat ini pun postingan saya jumlahnya juga masih bisa dihitung dengan jari dan dengan “genre” yang tak jelas. Masalah kualitaspun sepertinya bisa ditebak, jauh dari kaidah menulis yang baik dan benar, apalagi tema yang saya tulispun umumnya hal-hal sepele dan sederhana saja.

Pun demikian yang terkait dengan tulisan jalan-jalan, travel, wisata, atau kuliner. Saya merasa tak ada yang istimewa, baik dengan tulisan atau pun obyek yang saya kunjungi. Namun, setidaknya ada jejak belasan artikel yang telah saya posting di kompasiana ini yang terkait dengan jalan-jalan ataupun kuliner. Semuanya ke tempat-tempat sederhana dan belum begitu banyak dikenal. Dan alasan jalan-jalan atau travel itu pun bukan karena semata-mata jalan-jalan atau travel, tetapi hanya “efek samping” dari pekerjaan yang mengharuskan jalan-jalan ke tempat-tempat sederhana. Namun demikian, meski ke tempat-tempat sederhana, entah mengapa saya selalu dibuat terpana dan ternganga dengan tempat-tempat sederhana tersebut.

Lihat saja misalnya dengan tulisan jalan-jalan yang pertama saya posting di kompasiana. “Sensasi Diskotik Berjalan”, begitu judul postingan yang saya buat. Bagi saya ini pengalaman sederhana menikmati kesederhanaan di awal saya berdomisili di kawasan NTT ketika menaiki angkot yang layaknya diskotik berjalan dengan dentuman musik yang menghentak gendang telinga. Atau misalnya ketika saya “Menyusuri Desa Sikka”, desa yang menjadi cikal-bakal nama Kabupaten Sikka di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Desa ini berada cukup jauh dari ibukota Kabupaten Sikka, Maumere. Perjalanan bisa ditempuh sekitar 1 jam 30 menit dari Maumere dengan kondisi jalan beraspal menanjak-menurun-menukik dan berliku-liku. Namun demikian, sepanjang perjalanan kita akan disuguhi keindahan alam Flores. Padang ilalang yang mulai menguning keemasan, puncak gunung Egon, dan tentu saja rimbunnya kebun coklat, jambu mete, dan ribuan kelapa yang menancap di lereng-lereng gunung hingga tepian pantai, adalah pesona yang dianugerahkan Tuhan. Tulisan di Desa Sikka itu saya buat menjadi dua postingan dengan judul tulisan kedua adalah “Sikka, Desa Tua yang Terlupa!”. Pada tulisan ini saya lebih terpesona dengan “kerentaan” rumah raja sikka yang nyaris tak ada perawatan. Padahal rumah ini pernah menjadi saksi kedatangan bangsa Portugis ke Sikka dan Flores, juga menjadi saksi hubungan dengan Majapahit. Berikutnya yang menarik di sini adalah kerajinan kain ikat tenun yang dibuat secara tradisional oleh tangan-tangan terampil masyarakat Sikka.

Masih di sekitar Maumere, Kabupaten Sikka, saya juga dibuat terpana dengan kehidupan masyarakat suku Bajo di Kampung Wuring. Kampung Wuring adalah sebuah perkampungan nelayan di pinggiran Kota Maumere, kurang lebih 5 Km dari pusat kota. Kampung yang mayoritas penghuninya adalah suku Bajo, suku yang lebih dikenal sebagai pelaut-pelaut ulung. Bahkan rumah yang dibangun pun persis di atas laut, dengan struktur yang sangat kuat. Apabila petang menjelang, air pasang datang yang ketinggiannya nyaris menyentuh lantai rumah. Sementara untuk menghubungkan rumah ke rumah, warga hanya memakai bambu 2-3 batang saja sebagai jembatannya. Apabila tak hati-hati, bisa-bisa tercebur masuk ke air laut.

Pada suatu hari ketika melintasi pemukiman ini, saya sempat berjumpa dengan beberapa peneliti dari Jepang dan Amerika, yang kata orang-orang sekitar, mereka sedang menganalisis struktur bangunan rumah orang-orang Bajo ini. Demikian juga, kami bertemu dengan beberapa pasang turis bule yang menginap di rumah orang Bajo ini.

[caption id="attachment_332076" align="aligncenter" width="300" caption="Rumah Suku Bajo, berada di atas laut ketika sedang surut"][/caption]

Dalam membuat tulisan dengan judul "Sepenggal Surga yang Terpenggal di Teluk Maumere" itu, saya sempatkan bertanya pada beberapa orang yang menyebutkan bahwa asal-usul suku Bajo dari Sulawesi yang semuanya adalah pelaut-pelaut ulung yang sulit jika hidup atau tinggal di gunung. Kata “bajo” sendiri berarti mendayung perahu dengan alat yang disebut bajo. Mereka bisa dikatakan telah menjadikan laut sebagai “nyawa” mereka. Mereka seolah menyatu dengan laut. Dan tak perlu heran jika anak-anak kecil usia 4-5 tahun sudah mahir berenang dan menyelam. Barangkali mereka telah “diajarkan” berenang sejak dalam kandungan badan ibundanya. Dsn di Maumere pulalah saya mengenal dan menjadi penikmat salah satu makanan khas Sulawesi, yaitu Kasuami yang merupakan makanan khas suku Bajo dan Buton yang ada di Maumere. Tulisan ini saya buat dalam bentuk opini dengan judul "Kasuami, Pangan Lokal yang Layak meng-Indonesia", dan merupakan kekaguman saya atas nilai-nilai kuliner lokal.

[caption id="attachment_332073" align="aligncenter" width="300" caption="Kasuami, Makanan Khas Buton"]

1414631743531804922
1414631743531804922
[/caption]

Kemudian "Menapak di Pulau Sumba", masih di NTT. Di sini juga tak kalah eksotisnya. Pulau yang terik tetapi sangat menarik dengan berjuta pesona yang sangat unik. Bila musim kemarau datang, padang sabana yang luas terbentang, ladang-ladang jagung dan ilalang menguning keemasan terhampar menawarkan kegairahan untuk selalu mengaguminya. Pulau ini juga menjadi salah satu daerah penghasil kuda-kuda tunggangan dan aduan nan tangguh. Dan yang tak kalah menariknya, juga menyuguhkan tradisi pasola dan makan kinang bagi tetamu.

Dari NTT meloncat dan jalan-jalan ke kawasan Jawa bagian barat untuk mengambil "Pelajaran Bertani dari Baduy". Tulisan ini saya buat dalam bentuk opini untuk menyingkap rahasia bertani mereka. Ada banyak nilai-nilai dan kearifan lokal yang mengagumkan dalam sistem pertanian yang dianut mereka yang patut disebarkan. Meskipun dalam bidang pertanian mereka tidak mengenal sarana dan pra sarana pertanian yang modern serta hanya mengenal sistem perladangan, dimana sistem perladangan adalah sistem pertanian yang paling purba, namun mereka memiliki kearifan lokal yang sangat mengagumkan. Mereka sangat menghormati lingkungannya dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistemnya. Mereka berprinsip bahwa jika keseimbangan tak terjaga, maka malapetaka akan datang dan akan menimpa mereka pula. Untuk lebih mengabadikan tulisan, tulisan ini saya jadikan pelengkap atau saya ikutkan dalam buku bunga rampai yang bertajuk “Petani Tanpa Tapal Batas” yang merupakan kumpulan tulisan saya yang sudah dimuat di media cetak (sekitar 40 % telah dimuat Kompas, 30 % koran lainnya, dan 30 % dari tulisan di blog).

Selepas jalan-jalan ke Baduy, saya kembali ke kampung halaman. Ada beberapa hal menarik (menurut saya) dari kampung halaman saya. Salah satunya adalah tentang buah durian dengan varian khusus, yaitu Durian Bido, yang menjadai andalan kampung halaman kami untuk menarik wisatawan. Keunikan buah ini adalah bukan saja menjadi buah endemic di Wonosalam Jombang, tetapi juga telah dilepas sebagai Varietas Unggul yang ditandai dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 340/Kpts/SR.120/5/2006. Selain itu, secara tampilan durian bido ini dagingnya lembut dan tebal, tidak terlalu garing ataupun lembek, rasanya legit dan sedikit ada rasa pahitnya. Nah, rasa pahit inilah yang membuat “kecanduan” para pelancong untuk terus menikmati durian asli Wonosalam ini. Pertama kali membuat tulisan tentang durian ini dengan judul "Durian Wonosalam, Mengapa Lebih Mahal?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun