Mohon tunggu...
Junaedi
Junaedi Mohon Tunggu... Lainnya - Pencangkul dan Penikmat Kopi

Lahir dan tumbuh di Wonosalam, kawasan pertanian-perkebunan dataran tinggi di Jombang bagian selatan. Seorang pencangkul dan penikmat kopi. Dapat ditemui di www.pencangkul.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Balik Secangkir Kopi Memandang Dunia

24 Mei 2015   16:26 Diperbarui: 21 Juli 2023   05:45 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: iStockphoto

Dari balik secangkir kopi kita juga bisa memetakan sejarah perjalanan kopi menuju penjuru dunia yang seringkali dipenuhi dengan intrik dan kepentingan tertentu hingga menimbulkan imperialisme. Dibalik secangkir kopi ada pertarungan ekonomi antar perusahaan kopi dari perusahaan kelas gurem sampai perusahaan multinasional, dari kelas warung pinggir jalan sampai cafe-cafe eksklusif. Bahkan, dari balik secangkir kopi ada prostitusi beraroma kopi yang semerbak, menyeruak di beberapa kota di Indonesia!

Dan yang tak kalah pentingnya, dibalik secangkir kopi ada jutaan petani kopi yang menggantungkan nasibnya pada cangkir-cangkir kopi yang ada dihadapan kita. Pernahkah kita peduli atau setidaknya mengingat dan membayangkan para petani kopi ketika menyeruput secangkir kopi? Pernahkah membayangkan bagaimana kopi itu diproduksi dan diproses hingga hadir di hadapan kita? Pernahkan kita membayangkan bagaimana struktur pasar kopi dari tingkat petani sampai penjual besar ataupun eksportir? Pernahkan kita membayangkan struktur pasar produk kopi yang dihasilkan pabrik-pabrik pengolah kopi hingga siap saji dihadapan kita? Pernahkah kita berempati pada petani ketika harga-harga kopi petani jatuh hingga terkadang biaya produksi, bahkan sekadar biaya petik lebih mahal dari harga produknya?

Begitulah kopi bisa menghadirkan pengalaman bathin individu yang menikmatinya. Dari balik secangkir kopi saya pernah merasakan bagaimana nasib petani kopi di kampung halaman saya pada pertengahan tahun 1990-an atau sebelum krisis moneter pada akhir 1997, harga kopi pernah jatuh di bawah angka Rp. 2000,-. Padahal BEP yang bisa menguntungkan petani berkisar pada Rp. 5000,-. Kala itu petani di kampung benar-benar terpurik. Untuk ongkos petik pun sampai tak tertutupi, sehingga banyak petani yang menjual dengan cara tebasan (jual di pohon) atau mempekerjakan pemetik kopi dengan sistem bagi hasil. Jadi para pemetik dibayar dengan sejumlah kopi yang mampu dipetik, umumnya sistem paron (fifty-fifty). Ini dilakukan guna menjaga tanaman kopi tetap bisa berbunga pada musim berikutnya, karena jika biji kopi tidak dipetik ketika masanya panen, maka tanaman kopi akan rusak dan/atau tak mau berbunga.

Riset Kawan

Dari secangkir kopi pula, saya jadi teringat akan hasil penelitian tesis seorang kawan sepuluh tahun yang lalu. Bahkan hasil riset seorang kawan itu pada beberapa tahun lalu dibukukan dan sedikit banyak saya terlibat. Meskipun secara pribadi hasilnya tak memuaskan, hanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, dan terburu-buru, dan bukunya masih menggunakan data lama ketika melakukan penelitian di tahun 2004-2005. Andaikata datanya di update, tentu hasilnya lebih renyah dan enak dibaca.

Obyeknya adalah PT. Nestle dan petani kopi di Lampung, tepatnya petani kopi di Desa Ngarip, Kecamatan Ulu Belu, Kabupaten Tanggamus. Ini dilatarbelakangi karena pada umumnya kopi yang dijual petani di Provinsi Lampung adalah kopi mutu non-grade (mutu asalan). Oleh karena itu untuk memperbaiki kualitas kopi rakyat, pemerintah dalam hal ini Dinas Perkebunan dan Kehutanan bekerjasama dengan Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) dan beberapa pihak mitra melakukan pelatihan pada petani kopi, baik yang berkaitan dengan teknik budidaya, manajemen maupun pascapanen. Salah satu pihak mitra yang terlibat dalam pembinaan petani ini adalah PT. Nestlé, produsen kopi instant ‘Nescafé’.

Pembinaan petani telah dilakukan oleh PT. Nestlé di provinsi Lampung sejak tahun 1994, dengan pilot project-nya adalah Desa Ngarip, Kecamatan Ulu Belu, Kabupaten Tanggamus. Sebelum tahun 1994, para petani di Desa Ngarip sama sekali tidak mengetahui cara-cara untuk menentukan kadar air biji kopi yang dihasilkannya kecuali hanya berdasarkan hasil penentuan subyektif para pedagang pengumpul desa. Berawal dari hal inilah, PT. Nestlé memberikan pembinaan dan transfer pengetahuan mengenai mutu dan harga kopi kepada petani, dengan harapan bahwa program ini dapat memberikan sumbangsih bagi upaya perbaikan mutu dan peningkatan produktivitas kopi rakyat.

Kesimpulan utama yang diperoleh dari penelitian kawan tersebut adalah: Pertama, dari empat paket program yang diterapkan dalam pembinaan kemitraan antara PT. Nestlé dengan petani kopi Desa Ngarip, paket pembinaan aspek perkebunan, paket informasi bisnis perkopian dan solusi pemasaran hasil yang paling tinggi diadopsi petani dan membawa pengaruh nyata dalam peningkatan mutu kopi petani di desa Ngarip. Pembinaan ini telah berhasil meningkatkan mutu biji kopi robusta di tingkat petani.

Sebelum dilakukan pembinaan, mutu kopi yang dihasilkan petani adalah kopi mutu non-grade dengan kadar air lebih dari 20 persen dan nilai defect lebih dari 250. Namun setelah dilakukan pembinaan, petani telah mampu meningkatkan mutu kopi robusta dari mutu non-grade menjadi mutu A1 dan A2 yaitu biji kopi dengan kadar air 11,5 persen dan defect kurang dari 80.

Kedua, dari koordinasi vertikal yang dilakukan PT. Nestlé dengan petani kopi di Desa Ngarip memunculkan suatu hubungan kelembagaan. Sebagai efek dari kelembagaan ini sejak Tahun 1994 sampai tahun 2003, biaya transaksi yang muncul dari kelembagaan kemitraan ini adalah biaya informasi dan biaya monitoring (+ Rp. 131,51 per kg) yang seluruhnya ditanggung oleh PT. Nestlé dan lebih rendah bila dibandingkan biaya transaksi yang muncul dari kelembagaan tataniaga kopi tradisional (+ Rp. 339.00 per kg).

Begitulah, sekali lagi kopi memang tak sekadar kafein dan rasa pahit, namun bisa menghadirkan pengalaman batin yang sifatnya sangat personal. Dari balik secangkir kopi bisa memandang dunia. Dan yang menarik akhir-akhir ini dan layak dicermati adalah "perang" iklan kopi (instan) di media massa. Sungguh menyaksikan "perang" iklan itu, sepertinya sebagai konsumen kita diuntungkan. Selebihnya kehadirian kopi instan juga mendorong pertumbuhan warung-warung kopi (pinggiran), yang mengandalkan "bahan baku" dari kopi instan. Mungkin perlu penelitian untuk melihat ini, bahkan mungkin perlu kajian lain, jangan-jangan kopi-kopi instan ini sedikit-banyak  "merontokan" eksklusivitas cafe-cafe modern. Betapa tidak, melihat varian kopi instan selama ini, ada beberapa variannya yang mirip hidangan cafe, namun dengan harga yang beberapa ribuan saja. Begitulah. Mari ngopi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun