Mohon tunggu...
Juli Prasetya
Juli Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Pemuda desa tampan dan sederhana yang mencintai dunia literasi, sastra, sejarah, komunikasi, sosial dan budaya.

Pemuda desa tampan dan sederhana yang mencintai dunia literasi, sastra, sejarah, komunikasi, sosial dan budaya.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Penginyongan Vs Feodalisme

24 Juli 2018   10:31 Diperbarui: 24 Juli 2018   10:41 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jiwa-jiwa dan mindset feodalisme yang masih terus hidup dan dipelihara ini menjadikan bahasa ibu/khususnya basa penginyongan bukan tidak mungkin cepat atau lambat akan menemui "kematiannya", jika tidak segera ditangani.

Bagi Trianton dalam bukunya Identitas Wong Banyumas (Graha Ilmu, 2008) mengatakan bahwa bahasa yang digunakan oleh seseorang dapat menunjukkan identitas diri. Bahasa mampu menunjukkan lanskap kehidupan sosial budaya, politik, maupun status dan peran seseorang dalam suatu masyarakat. Bahasa menjadi penanda seseorang memiliki kebudayaan tertentu. Bahasa dan budaya memberikan kontribusi yang besar atas konstruksi sebuah identitas.

Inilah yang kemudian tidak dipahami oleh sebagian awam yang memberikan pemahaman dan stereotip bahwa bahasa penginyongan itu bahasa yang begini dan begitu dengan nada negatif dan terkesan mengejek. Padahal tadi yang telah disebutkan bahwa bahasa menunjukkan identitas diri.

Jika kita ingin berpikir sejenak dan merenung jauh ke dalam, bukankah bahasa penginyongan itu lebih dulu mencetuskan nilai egaliterian, kesederajatan, kesekufuan, persamaan, memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masyarakat dan manusia, sebelum revolusi Prancis mencetuskannya?

Sekarang kita hidup berdasarkan anggapan orang lain, kita hidup pada zaman menurut selera orang lain. Kita dihegemoni dan dijajah oleh pendapat yang memenangkan sejarah, kita tidak bisa merdeka untuk menentukan pilihan hidup kita sendiri yang sesuai dengan hati nurani pun menjadi manusia Banyumas sejati.

Berharga atau tak berharga sebuah budaya dan kebudayaan (bahasa) tergantung dari pengguna dan penutur itu sendiri bukan?, Seberapa bangga dan banyak para pemakai bahasa ibu itu sendiri, bukan dari anggapan dan pendapat orang lain yang terkesan menjatuhkan dan meniadakan lian.

Kalau masih ingin menghargai bahasa daerah masing-masing khususnya bahasa penginyongan, ya mari kita bersama-sama, berbahagia dan bangga untuk menguri-uri (melestarikan) basa penginyongan tanpa ada yang merasa tersinggung atau direndahkan  antara generasi tua maupun muda ketika berkomunikasi. Karena tadi manusia Banyumas adalah masyarakat yang cablaka (apa adanya) dan egaliter.

Kalau masih ada sedikit rasa tersinggung , malu, dan merasa direndahkan dalam hati para penutur bahasa ibu (penginyongan) ketika berkomunikasi, maka sejatinya itulah yang menjadikan bahasa penginyongan akan terlihat rendah derajatnya.

Kesadaran kolektif masyarakat untuk melestarikan budayanya merupakan sebuah keniscayaan, tak terkecuali bahasa Banyumasan/penginyongan.

Sastrawan dan Budayawan Banyumas, Ahmad Tohari mengatakan bahwa masyarakat Banyumas memang harus lebih sering menggunakan dialek Banyumas. Meskipun terlihat sederhana namun sekarang ini masyarakat tidak terlalu menganggap hal tersebut sebagai suatu hal yang penting dilakukan.

Masyarakat hendaknya dapat mempertahankan budaya daerahnya  masing-masing, meskipun adanya dorongan dari luar untuk mengenal budaya lain, tapi jangan sampai kehilangan jati dirinya, kehilangan identitas dirinya dari akar dan budaya ibunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun