Mohon tunggu...
Julkhaidar Romadhon
Julkhaidar Romadhon Mohon Tunggu... Administrasi - Kandidat Doktor Pertanian UNSRI

Pengamat Pertanian Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya. Http//:fokuspangan.wordpress.com Melihat sisi lain kebijakan pangan pemerintah secara objektif. Mengkritisi sekaligus menawarkan solusi demi kejayaan negeri.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mana Lebih Manusiawi, BPNT atau Rastra?

7 Januari 2019   11:13 Diperbarui: 8 Januari 2019   12:56 945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alih-alih mampu meredam kenaikan harga beras, justru program BPNT sendiri ikut menaikkan harga beras yang ada. Inilah yang ditakutkan penulis selama ini, jika program rastra digantikan dengan program BPNT.

Semua ini sejalan dengan pernyataan pemerintah sendiri Kementerian Sosial yang konsen dengan penanganan program rastra dan BPNT. Dirjen Fakir Miskin Kemensos Andi Dulung sendiri mengakui kelemahan pada program BPNT ini yang utama yaitu tidak dapat mengontrol harga pangan.

Kontraproduktif BPNT

Hal ini terlihat dari pernyataannya dahulu saat lokakarya "Pemanfaatan Teknologi untuk bantuan sosial" di Hotel Pullman, Jakarta, Kamis (24/8/2017).

Pernyataan pertama, "kelemahan dari bantuan lewat kartu ini yakni pemerintah tidak mengontrol harga pangan yang dijual oleh e-warong".

Pernyataan kedua "itu kelemahannya (BPNT), jadi harga beras misalnya, itu terserah dari agen. Pokoknya satu bulan penerima dapat Rp 110.000, dia bisa beli beras harga berapapun. Kalau dia mau beli yang lebih mahal juga silahkan. Karena dengan kartu itu, warga miskin bisa membeli beras yang lebih mahal dan kualitasnya lebih bagus dari beras standar Bulog untuk rastra". Kecenderungannya, malah orang lebih suka beli beras yang kualitasnya lebih bagus, harganya lebih mahal tak masalah. Mau beras Rp. 8.000/kg tak masalah, Rp 10.000/kg tak masalah".

Dari dua pernyataan diatas, sudah jelas bahwa program BPNT yang digadang-gadang tahun ini terealisasi hampir 100 persen memiliki kelemahan yang sangat patal terhadap kenaikan harga beras.

Apalagi sampai dengan Presiden meminta operasi pasar besar-besaran, ternyata Bulog sudah menggelontorkan hampir 500 ribu ton beras untuk operasi pasar. Dan ini terbesar dalam 5 tahun dari tahun 2013 dalam rangka menurunkan harga beras. Namun nyatanya belum juga efektif, hal ini disebabkan karena jangkauan sebarannya tidak seluas seperti program rastra dan tergantung juga dengan daya beli masyarakat.

Penjelasan ilmiah dari dua pernyataan diatas, dapat dijabarkan sebagai berikut. Inilah yang selalu ditakutkan para pengamat kebijakan pangan yaitu "mekanisme pasar" atau "liberalisasi pasar". Ditengah maraknya kasus mafia pangan yang diungkap oleh satgas pangan, seharusnya membuat pemerintah semakin yakin bahwa BPNT belum layak untuk diterapkan tahun depan.

Pernyataan KPPU yang mengatakan bahwa struktur pasar beras di tingkat petani cenderung kompetitif, sedangkan ditingkat konsumen cenderung oligopoli menjurus kartelisasi seharusnya juga dijadikan pegangan.

Membiarkan masyarakat untuk membeli pada harga tingkat pasar dan semaunya adalah sangat berbahaya. Secara teori ekonomi, uang Rp 110.000/bulan akan dilihat para pedagang sebagai peningkatan pendapatan yang identik dengan tingginya permintaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun