Mohon tunggu...
Julkhaidar Romadhon
Julkhaidar Romadhon Mohon Tunggu... Administrasi - Kandidat Doktor Pertanian UNSRI

Pengamat Pertanian Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya. Http//:fokuspangan.wordpress.com Melihat sisi lain kebijakan pangan pemerintah secara objektif. Mengkritisi sekaligus menawarkan solusi demi kejayaan negeri.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Simalakama Swasembada Beras

11 Maret 2018   06:13 Diperbarui: 11 Maret 2018   09:05 1151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: ekonomi.kompas.com

Target swasembada beras sudah dicanangkan Presiden Jokowi akan tercapai dalam waktu tiga tahun pemerintahannya. Indikator keberhasilan swasembada pada pemerintahan sekarang diukur dari tidak adanya impor. Jangka waktu tiga tahun yang ditargetkan berarti jatuh tempo pada tahun 2018. Namun kenyataannya apa yang terjadi sekarang?  Seperti yang terjadi akhir-akhir ini, impor akhirnya dilakukan pada detik terakhir saat menjelang panen raya. Padahal seharusnya, impor sudah dilakukan beberapa bulan sebelum panen raya agar tidak mengganggu harga jual gabah beras petani. Tak ayal lagi, akhirnya indicator itu menjadi boomerang tersendiri bagi pemerintah.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian selalu mengkampanyekan bahwa negeri ini surplus beras. Bahkan mereka mengklaim, kelebihan beras mencapai puluhan juta ton. Lebih hebatnya lagi, untuk mempertegas kita sudah swasembada beras, Kementan mempublikasikan ekspor beras ke Negara tetangga. Luar biasa pencitraannya, berbanding terbalik dengan fakta di lapangan. Ekspor baru hangat-hangatnya, eh ternyata impor lebih dahsyat lagi volumenya. Ironi?

Itulah resiko besar yang harus ditanggung pemerintah, jika menggunakan "single indicator"keberhasilan swasembada. Ibarat buah "simalakama" jika dimakan mati bapak, namun jika tidak dimakan mati emak. Serba sulit dan dilema memang.  Jika impor tetap dilakukan maka "borok" ketahuan namun jika tidak melakukan impor, dampak dari pertaruhan ini sangat besar sekali. Dampak urutannya antara lain adalah harga beras tinggi lalu menggerek inflasi, daya beli melemah, rakyat menjerit kelaparan, ekonomi stagnan, demo dimana-mana, kerusuhan social akhirnya mengganggu stabilitas pemerintahan.

Orang awam mungkin termakan opini bahwa kita memang swasembada beras. Seluruh media memberitakan panen raya dimana-mana bahkan langsung dihadiri oleh sejumlah pejabat Negara. Jadi wajar, jika masyarakat mempertanyakan Kementerian Perdagangan memutuskan untuk mengimpor beras 500 ribu ton dari Thailand dan Vietnam. Padahal kalau masyarakat lebih cermat sedikit, bahwa selama ini kita hanyalah menonton sebuah pertunjukkan drama sandiwara. Bagaimana mungkin, sesama pemerintah saling silang pendapat. Pasti sudah ada koordinasi terlebih dahulu. Namun, sengaja diperlihatkan untuk menghindari tuduhan kesalahan hanya ditujukan pada satu kementerian saja.

Peringatan Awal Harga Beras Naik

Sebenarnya, peringatan awal naiknya harga beras sudah banyak disampaikan oleh para ahli dan pelaku di bidang perberasan. Prof Dwi Andreas Sentosa pernah mengatakan bahwa dalam penelitiannya selama pertengahan tahun 2017, ia menemukan ada lebih 400 ribu hektar sawah yang terserang hama wereng. Namun, semua ini ditampik Kementan yang hanya menganggap angin lalu saja. Bahkan dengan percaya dirinya mengumumkan ke publik bahwa hanya sebagian kecil saja yang terserang hama dan tidak akan menurunkan proyeksi angka produksi. Justru dilain kesempatan, mereka terus mengumumkan telah tercapainya luas tambah tanam di seluruh Provinsi Indonesia untuk mencapai target swasembada pangan.

Early warning systemyang lain adalah kenaikan harga beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) Jakarta. Pada akhir tahun diantara bulan November dan Desember 2017, tanda-tanda kenaikan harga beras sudah kelihatan. Selama ini pasokan aman tiap harinya ke PIBC adalah 3.000 ton, namun drastis berkurang dan terus menurun hingga dibawah 2 ribu ton per hari. Bahkan, stock aman minimal pun jauh dibawah standar yaitu 30 ribu ton. Seharusnya, tanda-tanda alam ini sudah cukup untuk meyakinkan pemerintah bahwa negeri ini memang sedang mengalami masalah pasokan beras. Sehingga, pada saat inilah momen yang tepat untuk memutuskan adanya impor atau tidak. Petani pun tidak akan marah, karena pada bulan ini memang masa-masa paceklik dan masa tanam. Mereka juga konsumen pada masa ini dan sangat tercekik dengan tingginya harga beras.

Namun pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian, tetap tidak menerima tanda-tanda alam tersebut. Masukan mereka anggap angin lalu yang pergi begitu saja. Biarkan anjing menggonggong dan kapila tetap berlalu. Mereka tetap menentang teori ekonomi yang mengatakan jika pasokan beras bertambah maka harga beras dengan sendirinya akan turun. Apa mungkin, teori ini tidak berlaku di Indonesia? Jangan-jangan Kementerian Pertanian sudah menemukan teori baru? Mudah-mudahan kita tunggu saja teori baru tersebut yang pasti bisa menggetarkan dunia. 

Harga beras yang semakin tinggi, tentu membuat Kementerian Perdagangan kelabakan. Pada bulan-bulan November, Desember hingga sekarang bulan Maret 2018, sudah ribuan ton beras digelontorkan untuk meredam kenaikan harga beras. Namun hasilnya nihil. Beras tetap tidak beranjak stabil tinggi, padahal sudah memasuki panen raya. Lalu apa yang salah?  

Overestimate Data Pangan

Dalam takshow interaktif yang bertema 'Mudah Mainkan Data Pangan' (17/1/2018) yang diselenggarakan Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA), Khudori selaku Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia berujar bahwa berdasarkan perbandingan dengan sejumlah data lain, serta keadaan di lapangan, maka data yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian terkait stok pangan dalam negeri terlihat kurang tepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun