Mohon tunggu...
Julius Novan Deni Kurniawan
Julius Novan Deni Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Seorang pengelana yang masih terus berkelana menyelami misteri dunia ini. An English Letters fresh graduate that proud to be Indonesian and loves searching hidden gems scattered across the universe which "obviously" already right behind human eyes.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Tarian Lengger Maut" dan Jati Diri Masyarakat Indonesia

15 Mei 2021   18:00 Diperbarui: 15 Mei 2021   17:58 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Baru-baru ini, dunia perfilman Indonesia sedang ramai dengan munculnya film Tarian Lengger Maut yang dibintangi oleh Refal Hardy dan Della Dartyan, dengan Yongki Ongestu sebagai sutradara. Mengusung genre Thriller-Horror, film ini mengisahkan mengenai misteri pembunuhan warga Pagar Alas yang jasad-jasadnya ditemukan tanpa jantung. 

Teror ini mulai muncul setelah dokter Jati Arya Permana (Refal Hardy) datang ke desa tersebut yang sejatinya merupakan dalang di balik tewasnya warga Pagar Alas.  Suatu hari, Jati berkenalan dengan seorang penari Lengger bernama Sukma (Della Dartyan).  Dokter tersbut terpikat karena paras dan kelihaiannya dalam menari. Satu hal yang pasti, Ia juga menyukai detak jantung Sukma yang terdengar merdu di telinganya. Hal ini pun mendorongnya untuk mulai mendekati gadis pujaannya itu. Kematian warga Pagar Alas terus berlanjut, warga mengamini bahwa Sukma adalah kunci dari malapetaka yang menimpa mereka. Jika Sukma mendapat anugerah Indang, maka petaka tersebut bisa diakhiri. Mereka tidak menyadari bahwa sumber malapetaka itu sebenarnya berada di antara mereka selama ini.

Banyak ulasan mengenai film ini yang menyatakan bahwa kesan thriller dalam film ini dibuat setengah-setengah dan malah lebih menonjolkan dalam hal kebudayaan Tari Lengger itu sendiri. Hal ini bisa terlihat dari alunan musik, permainan gamelan, hingga koreografi tarian yang digarap secara serius dan otentik berkat bantuan praktisi tari lengger lokal dan alunan musik dari komposer Reno Rolander. Bahkan Della Dartyan (Sukma) sampai berlatih Tari Lengger selama 1,5 bulan yang membuktikan bahwa film ini secara serius memang bermaksud untuk mengenalkan Tari Lengger itu sendiri.

Sungguh menarik, bagaimana budaya dan seni tradisional Indonesia yang hampir selalu disajikan dengan paduan hal mistis, horor, maupun thriller pada layar lebar. Hal ini bukanlah hal baru di dunia perfilman Indonesia, malahan hal ini sudah menjadi suatu tradisi atau bahkan rumus mutlak dalam menyajikan atau memperkenalkan suatu hal berbau budaya, tradisi, atau kearifan lokal pada film layar lebar.

Sebenarnya hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya tidak terlalu menyukai budayanya sendiri, memandang rendah budaya sendiri, dan menganggap budaya asing "lebih" dari budaya sendiri. Hal inilah yang melatarbelakangi para pembuat film kurang pede jika hanya sekedar menunjukkan aspek budaya saja. Pola pikir seperti ini sebenarnya merupakan "warisan" era kolonial dalam usahanya menjajah dan melemahkan daerah jajahannya. 

Dalam buku Architects of Deception yang ditulis oleh Juri Lina, ada tiga cara untuk melemahkan, menjajah, atau bahkan menghancurkan suatu bangsa. Yang pertama adalah adalah mengaburkan sejarahnya. Yang kedua menghilangkan atau menghancurkan bukti-bukti sejarah bangsa itu sehingga tidak bisa diteliti dan dibuktikan kebenarannya. Yang terakhir, memutus hubungan mereka dengan leluhurnya dengan mengatakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.

Kemudian fakta bahwa masyarakat Indonesia menyukai hal mistis dan horor menjadikannya salah satu unsur penting yang dapat digunakan dalam memikat hati pentonton Indonesia. 

Dikutip dari CNNIndonesia.com, menurut Budi "Sekarang itu, kepercayaan mitos, atau kepada mistik itu karena ada unsur sensasi dan hiburan," 

"Dan mistis di Indonesia sudah berlangsung sejak ratusan tahun lah, berabad-abad yang lalu. Dan tidak bisa hilang begitu saja meskipun rasionalitas orang Indonesia telah mulai meningkat, tapi itu tidak bisa hilang begitu saja," katanya.

Ini menunjukkan bahwa hal-hal berbau mistis dan horor masih menjadi hiburan primadona masyarakat Indonesia dan dapat menjadi magnet kuat untuk menarik hati masyarakat Indonesia dalam menonton sebuah film layar lebar.

"Itu sifat manusia, selalu penasaran, ingin tahu, dan itu dibarengi dengan takut, senang atau sebuah kepuasan tersendiri," ujar Budi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun