Mohon tunggu...
Julius Novan Deni Kurniawan
Julius Novan Deni Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Seorang pengelana yang masih terus berkelana menyelami misteri dunia ini. An English Letters fresh graduate that proud to be Indonesian and loves searching hidden gems scattered across the universe which "obviously" already right behind human eyes.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pergeseran Fungsi dan Makna Keris dari Masa ke Masa

30 Maret 2021   15:54 Diperbarui: 30 Maret 2021   16:04 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

        Berbagai kebudayaan di Indonesia telah dan akan terus mengalami perkembangan hingga saat ini maupun kelak selama masih adanya manusia dan tentu saja Indonesia. Menurut KBBI kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan menusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya. Kebudayaan ada yang perlahan menghilang dan berganti, ada pula yang mengalami perubahanm makna dan fungsinya. Hal ini dapat diamati pada salah satu benda budaya Indonesia yang telah diakui oleh UNESCO pada tahun 2005 sebagai warisan budaya tak benda yaitu keris.

        Bukti arkeologis paling tua tentang kemunculan keris dapat dilacak pada prasasti batu yang ditemukan di desa Dakuwuh, daerah Grabag, Magelang, Jawa Tengah. Di sana termuat pahatan berbagai benda dan senjata yang dianggap sebagai bagian peralatan upacara keagamaan. Salah satu pahatan berbentuk mirip dengan keris buatan Nyi Sombro, seorang empu wanita pada zaman Pajajaran. Selanjutnya ditemukannya lempengan perunggu bertulis di Karangtengah, berangka tahun 842 M. 

Didalamnya dimuat beberapa sesaji yang digunakan untuk menerapkan Poh sebagai daerah bebas pajak. Salah satu sesaji itu bernama kres yang diartikan sebagai keris. Tentu saja keris pada saat itu memiliki bentuk yang tidak sama dengan keris sekarang pada umumnya atau para kolektor biasa menyebutnya Keris Kabudhan. 

Budaya keris mencapai puncaknya pada Kerajaan Majapahit. Semua lelaki di negeri itu memakai pulak (keris), sejak kanak-kanak, bahkan sejak umur tiga tahun. Laporan tersebut didapat dari Ma Huan dalam Yingyai Sheng-Lan (1416M) yang menyebutkan bahwa budaya keris dari Jawa menyebar sampai ke Palembang, Riau, Semenanjung Malay, Brunei Darussalam, Filipina Selatan, Kamboja (Champa) hingga ke Surathani dan Pathani di Thailand Selatan.

        Pada mulanya, keris diguynakan sebagai senjata tusuk, kemudian berkembang serbagai sarana dalam sesaji, lalu pada jaman majapahit, keris dimaknai sebagai senjata dan simbol kesaktian yang melekat dalam pribadi seseorang misalnya pada raja. Basis legitimasi kekuasaan raja-raja Hindu-Jawa adalah konsepsi dewa-raja. Hindu-Jawa memiliki keyakinan bahwa raja jawa merupakan inkarnasi dari Dewa Wisnu atau Dewa Siwa seperti yang tertulis dalam Kitab Nagarakertagama.

        Setelah majapahit Runtuh oleh Kerajaan Demak, tata nilai islam menjadi rujukan baru dalam membangun tradisi pemerintahan di Kerajaan Demak. Namun sebelum tata budaya islam terintegrasi penuh, Demak runtuh dan pusat pemerintahan kerajaan Islam-Jawa bergeser ke arah pedalaman saat berdirinya Kerajaan Pajang yang hanya bertahan satu generasi, kemudian digantikan oleh Kerajaan Mataram.

        Pada kerajaan Mataram yang bercorak Islam-Jawa ini, keris mempunyai kedudukan khusus. Karena letak kerajaan yang berada di pedalaman dan tidak berintegrasi dengan dunia luar akibat masuknya Belanda terutama di pesisir utara pulau jawa, kebudayaan berkembang ke arah involusi sehingga tidak mengherankan apabila kepercayaan masyarakat Mataram terhadap benda keramat seperti keris lebih besar.

        Konsep "wahyu dari Allah" pun muncul untuk membangun legitimasi kulktural atas kekuasaan raja seperti dalam cerita Babad Tanah Jawi yang berfungsi unutuk melegitimasi keterputusan garis keturunan raja-raja Mataram dengan wangsa Majapahit. Kenyataannya, Wangsa Mataram bukan berasal dari keturunan langsung raja-raja Majapahit.

        Keris pada masa kerajaan Mataram juga dimaknai hampir sama dengan wahyu yakni menghubungkan kekuatan supranatural dengan kekuasaan untuk membangun citra kekuasaan raja secara isoteris. Untuk membangun citra secara esoteris, bentuk dan perhiasan keris dibuat indah dan dengan pernak-pernik emas maupun batu mulia tergantung dari pangkatnya. Beentuk dhapur dan luk keris juga tidak bisa dipakai sembarangan orang.

        Para pujangga juga kerap menggambarkan kisah-kisah yang berkaitan dengan sejumlah pusaka, dan penggambaran peristiwa supranatural yang berhubungan dengan pusaka-pusaka tersebut. Upacara siraman pusaka kerajaan juga merupakan media visualisasi mitos tanpa menceritakan secara lisan mengenai pusaka yang dipertontonkan kepada warga masyarakat.

        Di keumudian hari, fungsi keris dalam kehidupan masyarakat mengalami perkembangan seperti untuk media penyembuhan  penyakit, membantu proses kelahiran bayi, mengusir setan, menjaga keselamatan diri, kerukunan dalam rumah tangga, dan media pengasihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun