Mohon tunggu...
Julinda Jacob
Julinda Jacob Mohon Tunggu... Konsultan - Orang rumahan

Seorang ibu rumah tangga yang menuangkan hasil pandangan mata dan pendengaran dalam kehidupan keseharian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Meski Minoritas, Umat Muslim Korea Selatan Tetap Semangat Berpuasa

9 Juni 2016   18:01 Diperbarui: 10 Juni 2016   09:58 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Central Mosque Korsel. Sumber: ddhongkong.org

Malam itu lepas Maghrib, saya sedang duduk di depan TV menanti pengumuman pemerintah RI mengenai hasil sidang isbat untuk penentuan awal ramadhan. Tiba-tiba Line berbunyi, “Teteh sudah taraweh, Mah”. Demikian pesan singkat dari putri sulungku, Violla yang saat ini sedang mengikuti mahasiswa exchange di Universitas Ajou, Suwon, Korsel. Saya segera mengalihkan perhatian dari TV ke HP, ber-Line ria dengan Vio dilanjutkan dengan Skype hingga pengumuman hasil sidang isbat.

Vio mendapatkan informasi awal Ramadan dari grup Whatsapp komunitas masyarakat Indonesia yang berada di Korsel. Informasi ini disebarkan oleh seniornya berdasarkan hasil isbat Korean Muslim Federation (KMF), yakni semacam majelis ulama ala Korea atau MUI nya korsel. Vio bersama dengan 5 teman muslimnya yang berasal dari Indonesia, Malaysia dan Maroko bersegera melaksanakan shalat taraweh setelah Isya di dorm (kamar) masing-masing. Tidak ada space yang cukup untuk mereka berjamaah dan takut mengganggu kenyamanan mahasiswa exchange dari negara lain.

Populasi muslim di Suwon sangat sedikit, hanya lebih kurang 50 orang. Tidak ada masjid di sini, boro-boro mendengar suara azan. Vio mendownload aplikasi Muslim Pro untuk akurasi arah kiblat dan waktu-waktu shalat. Mesjid terdekat terdapat di distrik Itaewon dan Ansan. Kurang lebih 1,5-2 jam perjalanan dari Suwon dengan menumpang bis/subway. Itaewon salah satu distrik yang terletak di Seoul. Populasi muslim cukup besar di sini lebih kurang 40.000 jiwa. Di Itaewon terdapat Central Mosque, masjid termegah pertama yang dibangun di Korsel. Tanah pembangunan Central Mosque merupakan hibah dari pemerintah Korsel pada tahun 1970. Central Mosque selalu ramai dikunjungi jamaah untuk beribadah dan belajar tentang islam (Islamic Center). Bahkan saat hari libur, Central Mosque sering dikunjungi wisatawan lokal maupun internasional baik muslim maupun non muslim. 

Wisatawan diijinkan masuk Central Mosque dengan syarat menutup aurat. Apabila mereka datang dengan mengenakan celana pendek, pengurus masjid telah menyediakan pakaian panjang sejenis mukena untuk dikenakan memasuki masjid. Saat Ramadan, Central Mosque selalu berlimpah jamaah hingga keluar gedung. Central Mosque menyediakan hidangan buka puasa dan santap sahur menu Indonesia, gratis. Walaupun malam hari Korsel aman, namun terasa kurang nyaman untuk Vio taraweh ke Central Mosque. Selain di Itaewon dan Ansan, Busan juga termasuk distrik yang ramai populasi muslim. Sekolah Islam pertama didirikan di Busan dengan bantuan dana hibah dari pemerintah Arab Saudi. Jarak tempuh dari Suwon ke Busan cukup jauh lebih kurang 5 jam dengan transportasi bis/subway.

Mayoritas masyarakat Negeri Ginseng tidak beragama. Islam merupakan agama minoritas. Puasa sangat asing bagi mereka. Mereka tidak mengerti apa itu puasa dan heran melihat mengapa seseorang tidak makan dan minum selama satu bulan. Namun mereka menghormati muslim yang berpuasa. Tidak ada perbedaan suasana Ramadhan di Negeri Oppa Ganteng. Semua berjalan normal. Café dan resto tetap buka seperti biasa. Namun susah mencari makanan halal. Makanan Korsel umumnya mengandung unsur babi. Pilihan makanan terbatas pada ikan dan sayuran, kecuali jajanan yang terletak di sekitar area masjid, insya Allah halal.

Saat ini Negeri Oppa Ganteng memasuki musim panas (summer). Suhu di atas 32’ C yang menyebabkan durasi puasa lebih panjang dari Indonesia yakni 17 jam. Subuh mulai pukul 4 pagi dan saat matahari terbenam, Maghrib pukul 20 malam. Perempuan-perempuan Korsel mulai mengenakan busana tipis atau celana pendek untuk aktivitas hariannya. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi laki-laki muslim untuk menundukkan pandangan. Terdapat perbedaan waktu 2 jam lebih cepat dari Indonesia.

Ada hal menarik dari cerita Vio tentang puasa di Korsel. Di saat saya, muslim Indonesia umumnya, sedang harap harap cemas menanti keputusan resmi dari pemerintah mengenai awal Ramadhan, KMF telah menetapkan 1 Ramadhan secara tepat dan akurat dengan memanfaatkan teknologi dan disebarkan cepat dan massif via Whatsapp. Tidak ada perdebatan. Tidak ada sidang isbat yang membutuhkan dana ratusan juta konon kabarnya hingga milyaran rupiah untuk satu kali sidang. Tidak ada ruang yang penuh dengan ulama, kyai, tokoh ormas Islam dan para pejabat dari Kementerian Agama serta perwakilan duta besar. Semua clean and clear, mengandalkan teknologi dan profesionalitas. Meskipun minoritas, muslim Korsel berkualitas.

[caption caption="Photo koleksi beautifulmosque.com"]

[/caption]

Dan ironisnya, dari semua sidang isbat yang dilakukan pemerintah RI, sependek pengetahuan saya, belum pernah satu pun meleset dari ketetapan pemerintah pada kalender Hijriah yang terbit setiap awal tahun. Khalayak ramai pun bertumpu pada kalender Hijriah dalam merencanakan acara mudik bareng berdasarkan tanggal merah pada kalender Hijriah. So, untuk apa sidang isbat? Formalitas? Pertanyaan ini tentu akan menimbulkan pro dan kontra tak berkesudahan. Sebetulnya pemerintah cukup mengumumkan awal Ramadan berdasarkan ketetapan yang telah ditetapkan sebelumnya (saat pembuatan almanak Hijriah) dengan jadwal lebih cepat mengikuti waktu Indonesia Bagian Timur. Dengan demikian masyarakat timur tidak perlu menunggu hingga malam melaksanakan shalat taraweh hanya untuk formalitas ini.

Selain itu yang menarik dari muslim Korsel adalah Central Mosque. Saya terkenang saat mukim di Sabang, Aceh. Ketika dengan beberapa anggota Dharma Wanita tiba di Banda Aceh setelah 45 menit menyeberang menggunakan kapal roro, kami berniat shalat Ashar di Masjid Baitul Rahman, masjid terkenal di Banda Aceh. Saya dan anggota bergegas menuju tempat wudhu untuk shalat. Tanpa saya sadari, ada 3 anggota yang tidak masuk masjid. Ketika selesai shalat saya bertanya, “Lagi halangan?"
"Tidak bu…."
"Loh, mengapa tidak Ashar?“ tanya saya lagi.
“Kami mengenakan celana jeans bu, ga boleh masuk."
Astaghfirullah.... begitu lancangnya manusia mempersulit umat berkomunikasi dengan rabb-NYA, hanya karena busana. Padahal saat shalat mereka mengenakan mukena yang menutup aurat dari kepala hingga kaki.

Mereka melarang tanpa solusi. Boleh dicontoh kecerdasan pengurus Central Mosque, yang menyediakan pakaian ganti jika mengenakan celana pendek atau tertutup sebagian saat masuk masjid. Celana jeans dipadu tunik panjang, menutup aurat hingga mata kaki. Di mana problemnya? Jeans, ya celana jeans. Dengan keminiman ilmu dan kesombongan iman, mereka menganggap haram masuk masjid memakai jeans. Hadeuhh...gagal paham total!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun