Mohon tunggu...
Yulida Amizir
Yulida Amizir Mohon Tunggu... Sales - Happiness Seller

Pencinta sastra, dan masih tertatih dalam menulis sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kau dan Kenangan yang Hilang

24 November 2021   17:15 Diperbarui: 24 November 2021   18:10 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terik, saat duduk di teras rumahmu. Halaman yang berdebu, seakan mengajak berbagi di antara menghirup udara panas serta aroma bangkai yang tengik. Kita putuskan telik, menelisik bau daging busuk menusuk yang barangkali telah cukup lama sembunyi, terjepit di tepian kali depan rumahmu.

Setelahnya kita saling melemparkan lelucon, tentang lahir, hidup, juga tentang mati. Walau hanya dalam hitungan detik; kematian akan berlaku atas tikus, manusia, juga penulis.

Aku masih ingat tawa kerasmu saat itu. Wajahmu yang gelap bahkan tidak dapat menutupi rona merah tanda ia mulai memanas. Salah satu kehebatanmu yang aku kagumi adalah kecepatanmu merubah air wajah. Bagaimana tawa itu bahkan dalam hitungan kedipan mata bisa berubah wujud.

Pernah lain hari aku membantah pendapatmu tentang kematian manusia. Aku selalu menganggap kematian sesuatu yang serius, lain bagimu, yang selalu merasa itu hanya lelucon Tuhan kepada umat-Nya. Yang dengan suka hati-Nya meniup dan menarik roh kapanpun Dia mau.

Selalu menjengkelkan bicara kematian denganmu. Itu sebabnya aku lebih sering mencelamu dengan dengan hal lain, seperti istanamu yang tak jua diisi dengan sang permaisuri. Atau bersin-bersinku yang tidak pernah berhenti tiap kali melewati pintu lebarnya.

Bicara tentang permaisuri ini, selalu menyenangkan bagiku. Walau kau tetap saja bisa menangkis segala hujatanku pada akhirnya, setidaknya ada kepuasan dalam jiwaku saat menemukan sekelebat sinar kalah di dua bola jendela hatimu itu. Tangkisan itu akan selalu diawali dengan sebatang benda berwarna putih kecil yang kau sulut habis terbakar. Sekian detik berikutnya kau akan menuju meja kecil di mana coffee maker setiamu anggun berdiri.

Sebuah coffee maker sederhana yang kau beli dari royalti novelmu entah yang ke berapa. Walau tidak mengikuti gerakmu berikutnya, ekor mataku dapat membaca kau mulai meletakkan bubuk kopi pada kertas saringan, menuangkan air dan memanaskan bejana kacanya. Saat kau rasa didihnya sudah sesuai yang kau mau, kau akan menuangkannya dalam dua cangkir. Di hadapan dua cangkir itulah kau mulai mantra-mantra penangkis cercaanku. Dan selalu ada mantra baru yang kau lafalkan. Senyum sinisku akan selalu diikuti rutuk dalam hati.

Selalu menyenangkan menelan waktu denganmu. Sebagai anak rantau yang terdampar di salah satu kota terbesar di negeri, aku menarik banyak nilai yang semakin jarang aku temui saat ini. Idealismu yang langka, kebanggaan pada tanahmu berpijak, yang sering kali kau jadikan peluru untuk menembak pilihanku meninggalkan ranah tempatku pertama kali menghirup udara dunia.

Ranah dengan segala panoramanya yang akan memuaskan mata memandang, yang akan memberi warna pada lembar hidup yang hanya hitam putih, yang masih tetap berpegang teguh pada adat yang bersendikan syariat. Ah, betul sudah kutinggalkan itu semua di belakang. Dan kau entah bagaimana dengan caramu berhasil menohokku dengan ketajaman kata-katamu tiap kali kau ingin membalasku.

Saat teman-teman lain memberiku label penyair gagal, hanya kau yang tetap memberiku suntikan nutrisi untuk tetap memperbaiki goresan-goresan tintaku. Saat inilah untuk sejenak segala lelucon dan cercaan tersimpan dalam lipatan buku cerita kita masing-masing.

Apakah kau ingat suatu hari saat aku melemparkan salah satu naskahku ke meja di depanmu? Suara kerasnya membuatmu berjingkat. Matamu, hanya sekilas melihat tulisan pada halaman pertama. Hanya ada judul di sana. Aku membiarkan saja naskah itu di rumahmu. Hingga satu pagi yang sudah tinggi, seorang tukang ojek menyerahkan amplop coklat yang tertutup rapat. Tidak ada nama pengirim. Aku membuka dan menemukan naskahku yang sudah kau coret di sana sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun