Mohon tunggu...
Julianto Simanjuntak
Julianto Simanjuntak Mohon Tunggu... profesional -

.

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Artikel Utama

Duhh, Susahnya Meninggalkan Ibu Kandung

12 November 2011   22:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:44 5623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

By. Julianto Simanjuntak** Ada satu catatan penting tentang perkawinan yang menegaskan, " seorang pria yang menikah harus meninggalkan Ayah- Ibunya, dan bersatu dengan istrinya" Pada zaman Ibrani kuno, dimana catatan itu diambil, secara sosiologis  masyarakatnya  tinggal ditenda. Mereka hidup secara nomaden, sering  berpindah. Jadi wajar saja setiap anak dewasa dan  menikah wajib tinggal di tenda sendiri. Namun perpindahan secara fisik, tidaklah otomatis berpisah secara emosi. [caption id="attachment_115427" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi- (twynkle.com)"][/caption]

KASUS Mari kita lihat  tiga kasus di bawah ini untuk memahami betapa sulitnya "meninggalkan" Ortu sesudah menikah atau sebaliknya bagi Ortu "melepas" anaknya. 1. Seorang suami mengeluh pada rekan saya. Setiap kali pulang dari luar kota, ia biasa  dijemput oleh ibu kandungnya dan istrinya. Masalahnya adalah, jika dia cium dulu istrinya, ibunya akan marah dan berkata, "Oh, kamu lupa ya sama orang yang melahirkan kamu." Tapi jika ibunya dapat giliran pertama dicium, istrinya akan ngomel, "Kok jadi mama yang kamu peluk duluan, aku kan istrimu!" Tidak heran pria ini punya doa yang aneh saat di  pesawat. Dia berdoa  agar salah satu dari ibu atau istrinya sakit. "Supaya yang menjemput saya cukup satu saja. Sebab kalau berdua  selalu ada masalah sampai di rumah," keluhnya. 2.  Seorang  istri sangat  sedih melihat suaminya terpukul hebat karena Ibunya sakit keras. Padahal kalau dia yang sakit, suaminya merasa biasa saja.  Selama  ibunya sakit, sang suami sangat care.  Pukulan batin makin hebat tatkala sang Bunda meninggal dunia. Kedekatan batin mendalam antara suaminya dengan ibu mertua begitu kuat. Si ibu sejak kecil memang sangat dominan di rumah. Satu sisi positif, tapi di sisi lain meninggalkan konflik saat si anak menikah. Energi hati dan emosi lebih banyak diberikan kepada ibu kandung daripada Istrinya. Si istri merasa, "75% hatinya dia berikan pada Ibunya, hanya 25% dia berikan pada saya, istrinya." 3. Klien ketiga  diceraikan istrinya karena tidak suka suami rutin bantu ibunya setiap bulan.  Sang istri tidak bisa menerima sikap suaminya yang selalu membantu ibunya yang sakit. Hampir separuh gaji diberikan pada Ibu. Alasan klien adalah  tidak tega melihat Ibunya sakit. Selain itu dia merasa istrinya juga punya penghasilan sendiri. Namun sang Istri merasa tidak dilibatkan soal bantu-membantu ini, sehingga istrinya kesal luar biasa. MENINGGALKAN ORANGTUA KANDUNG Tulisan ini tidak mengajak kita mengabaikan Ortu. Tidak. Kita harus tetap menghormati dan mencintai mereka. Sebab ada janji berkat Tuhan menyertai mereka yang menghormati Ortu. Kita perlu merawat Ortu yang sakit, atau membantu keuangan mereka dimana perlu. Asal terbuka dengan pasangan, tidak main belakang atau memaksa. Lebih baik lagi disepakati sebelum menikah. Penulis mengajak setiap pria (atau gadis) yang akan menikah sadar bahwa memasuki pernikahan tidak mudah. Ada satu keputusan berat yang harus diambil, yakni "meninggalkan"   orangtua dan bersatu dengan istri. Bukan hanya secara geografi (fisik) pindah rumah, tetapi terutama secara emosi. Juga secara finansial, dsb. Seorang laki-laki harus siap meninggalkan Ibu dan Ayahnya, kemudian bersatu dengan istrinya. Orangtuapun harus siap melepas anaknya. "Meninggalkan" Ortu tentu tidak mudah, tapi harus dilakukan demi kebaikan kedua belah pihak. Namun keadaannya akan lebih mudah jika ibu  merasa sudah yakin (berhasil) menanamkan pada anaknya  nilai hidup dan tradisi yang baik dan siap dilakukan anaknya. Yakin melihat anaknya tumbuh menjadi pribadi yang bisa  mandiri dalam pernikahannya. Ayah yakin sudah melatih jiwa  kepemimpinan dalam diri puteranya, sudah siap jadi suami bagi mantunya. FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT Ada empat hal yang menghambat proses perpisahan emosi antara si Ibu  dengan  anak, dan sebaliknya. Pertama,  cinta yang posesif. Perasaan memiliki yang berlebihan dari si Ibu ke anak bisa disebabkan oleh perasaan bersalah. Saat masih kecil si Ibu kerja dan merasa kurang perhatian pada anaknya. Anak dititip pada pembantu saja. Lalu saat anak sudah besar dan si Ibu sudah tidak bekerja di kantor, ibu  merasa anaknya kurang ini dan kurang itu. Lalu rasa sesalnya ingin digantikan dengan sayang yang berlebih (posesif).  Saat si anak menikah si Ibu merasa mendapat saingan, yakni mantunya. Di sisi lain anak prianya menikmati perhatian si Ibu, apalagi jika hubungan dia dengan istri kurang harmonis. Tanpa disadari, dia menyakiti (menyalahkan) istrinya lewat kedekatan emosi dengan Ibunya sendiri. Kedua, ibu tidak mau “menyapih” anaknya saat anaknya remaja akhir. Jika di barat sana anak disapih pada usia 18. Di usia ini anak dianggap sudah mandiri,  sudah punya otonomi dengan dirinya. Anak bisa kos, merantau ke luar kota, dan mengurus dirinya sendiri. Nah sayangnya banyak orangtua tidak siap dan gagal dalam hal ini. Dia merasa anaknya masih (tetap) kecil, jadi harus terus diurus. Bahkan  sampai anaknya sudah menikah. Capek deh… Ketiga,  miskinnya rasa percaya (trust).  si Ibu kandung mungkin dibesarkan lewat  beberapa peristiwa yang tidak menyenangkan. Misalnya, dibesarkan oleh  Ibu kandungnya yang tidak becus urus anak, lalu  dominan terhadap Ayahnya. Dia takut, anak lakinya akan mengalami seperti pengalaman ayahnya. Karena itu dia suka intervensi agar mantunya tidak melakukan itu pada anak lakinya. Keempat,  mekanisme pertahanan  diri yang tidak sehat. Yakni terjadinya  pemindahan rasa sayang dari suami ke anak. Jika  hubungan si Ibu dengan suaminya tidak harmonis dan miskin keintiman,  maka energi sayang dia limpahkan kepada anak-anak. Jika itu dia limpahkan  pada anak yang masih kecil tidak masalah, tapi aneh dan bermasalah jika dia mencurahkan itu pada anaknya yang sudah menikah. BILA HATI “MENDUA” Len Sperry & J. Carlson dalam buku berjudul  "Marital Therapy" (Love Publ Company, Colorado, 1991) memaparkan hasil penelitian yang menarik. Ternyata  Jika ada usaha-usaha tanpa sadar untuk memelihara “kesetiaan tersembunyi” kepada keluarga asal dengan cara “menolak” pasangan, ini bisa menjadi dasar dari munculnya masalah-masalah seperti impotensi, ejakulasi dini, dan ketidakmampuan orgasme. Karena itu jika sampai terjadi maka perlu dihadapi dengan bijak. Sebab kalau ini dibiarkan, konflik dapat mengganggu harmonisasi relasi suami dan istri, dalam banyak hal: seks, komunikasi, perasaan tersaingi dan terabaikan, dsb. Pada tingkat yang lebih parah, dapat menyebabkan perceraian. Jika konflik tidak bisa ditangani secara bijak dan dewasa seringkali melumpuhkan banyak hal. Antara lain, efektifitas dan produktifitas kerja. Kalau dibiarkan  terus menerus, bisa menyebabkan stres hingga depresi. MENGHORMATI ORANGTUA Meski kita meninggalkan orangtua dan bersatu dengan keluarga inti bukan berarti mengabaikan mereka. tidak. Firman berkata, setiap kita dipanggil menghormati dan mengasihi Orangtua. Kita wajib merawat mereka, dan membagi apa yang perlu bagi orangtua. Apalagi jika mereka sudah tua dan tidak bekerja. Hanya tentu suami mendiskusikan dengan pasangannya. Jangan main belakang, dan jangan sampai tidak meminta pertimbangan pasangan. Sebab Janji Tuhan, setiap kita yang menghormati dan mengasihi orangtua akan mendapat berkat Ilahi/ PENUTUP Semoga bisa jadi perenungan kita bersama. Maaf untuk analisa yang terbatas, khususnya tidak melibatkan faktor budaya. Tujuan penulis adalah, mendorong yang akan menikah, agar mengenali baik-baik calon Anda. Mengenal calon mertua Anda dan mengasihi mereka seperti orangtua sendiri. Nah Bagi Rekan Pria yang segera menikah, bersiaplah secara dewasa bersatu dengan istri dan menikmati pernikahan seumur hidup yang diberikan Sang Pencipta Keluarga. Sedangkan Bagi kita Ortu bersiaplah suatu hari kelak melepas putra kita dan bersatu dengan sang mantu. Bang JS || Twitter || Ilustrasi: pinjam admin di artikel disini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun