Mohon tunggu...
Julianto Simanjuntak
Julianto Simanjuntak Mohon Tunggu... profesional -

.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Sakitnya Kematian

8 April 2012   02:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:54 14466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13338973231112336577

[caption id="attachment_180812" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Apa yang terjadi saat kita meninggal... Siapa saja yang melepas kita pergi... Sebagai siapa kita dikenang... Apa perasaan dan komentar anak cucu terhadap kita.... Apakah mati itu sakit? “Kematian itu sakitnya luar biasa,” demikian pendapat  ibu mertua saya saat masih hidup. Ah, benarkah? Entahlah! Siapa yang pernah mati lantas hidup lagi sehingga tahu sakitnya  mati? Namun kalau kita  lihat realita di acara pemakaman, kematian itu memang amat sangat menyakitkan, setidaknya  bagi keluarga yang ditinggal. Siapa yang tidak sedih dan sepi saat harus berpisah dengan  orang yang kita cintai? Jangankan ditinggal mati, saat anak meninggalkan kami untuk  pergi merantau untuk sekolah, rasanya sedih sekali. Kematian adalah bagian akhir hidup manusia yang akan dilewati semua orang. Kapan dan bagaimana cara Tuhan memanggil tak seorang pun tahu. Untuk Menggambarkan kepiluan dan rasa sakit itu, kami menuliskan ulang pengalaman beberapa sahabat serta pengalaman diri kami sendiri Pertama, sekitar  tahun 1994 saat saya masih memimpin jemaat kecil di Cinere. Saat itu  saya dihubungi seorang kenalan. Pembantunya baru saja melahirkan bayi prematur, dan bayi itu meninggal di hari kelima. Suami pembantu itu bekerja sebagai supir. Kenalan  saya mengeluh. Dia sudah menghubungi beberapa lembaga, tapi tidak ada yang bersedia memimpin acara penguburan karena sang PRT bukan anggota mereka. Dia dengan sangat membujuk saya agar mau pimpin kebaktian di kuburan. Saat itu Tak seorang pun yang hadir, kecuali ayah dan ibu bayi itu. Sang majikan pun tidak rela hadir. Sepanjang jalan hingga di kuburan, saya mendengar isak tangis sang ibu, meratapi bayinya. Melepasnya setelah bertemu hanya lima hari di dunia. Kedua, tujuh belas tahun lalu meninggallah seorang Oma (Nenek) berusia 94 tahun. Oma ini selama hidupnya dikenal baik dan sangat  peduli pada orang lain. Ini diakui oleh anak, mantu cucu hingga cicitnya. Selama acara duka banyak kerabat dan handai taulan menangis untuk sang oma, meski usianya sangat sepuh. Oma yang luar biasa ini selama hidupnya pandai bergaul, baik dengan yang tua maupun yang muda. Tak heran banyak orang mengantar kepergiannya. Saya belajar banyak saat memimpin ibadah pemakaman. Betapa orang yang hidupnya berguna, meninggalkan kesan mendalam bagi yang ditinggalkan. Ketiga, tahun 2011  lalu  seorang kenalan baik kami dipanggil Tuhan setelah beberapa saat sakit.  Rekan ini seorang ibu dari dua putri  remaja. Penyakitnya memang sudah lama serius, sampai  akhirnya dia pergi menghadap Penciptanya. Sang suami begitu sedih karena tidak bisa menyapa dan memeluk istrinya lagi walau terus berupaya mengajak almarhumah bercakap-cakap, seolah-olah istrinya masih hidup. Ratapannya tak berhenti berbulan-bulan lamanya, hingga kini Empat. Sahabat kami sudah lama mendoakan kehadiran putranya. Saat istrinya hamil dia senang luar biasa dan melayani istri sebaik-baiknya. Mereka berkonsultasi dengan dokter terkenal dan bertarif mahal di kotanya. Namun sayang, dokter itu terlalu sibuk menangani pasiennya yang demikian banyak. Maka ketika istri sahabat kami melahirkan dan perlu bantuan, dokter terlambat datang. Bayi lahir tapi sudah meninggal dunia. Selama berbulan-bulan, tiap pulang kantor, sang ayah ini pergi ke kuburan meratapi bayinya. MENGENANG KASIH DAN SAYANGMU Beberapa tahun lalu kami melayat teman sekampus  yang lebih dahulu dipanggil Tuhan. Teman ini kepala keluarga yang sangat mengasihi anak dan istrinya. Dia meninggal setelah sakit beberapa tahun. Keluarga sudah membawanya berobat sampai ke Singapura, Penang, dan Cina. Tapi toh akhirnya tidak tertolong. Pada malam penutupan peti istri almarhum mengucapkan kata-kata yang tidak akan kami  lupakan sampai sekarang, “Hati saya sedih sekali sampai sakit rasanya. Bukan kepergiannya yang membuat sakit, karena toh saya tahu dia pergi ke surga. Tapi mengingat kebaikan, kasih, dan sayang almarhum serta pengorbanannya yang luar biasa untuk saya dan anak-anak itu akan selalu membuat saya merindukan dia.” Berpisah selamanya dengan orang yang kita sayangi adalah penderitaan yang tidak tertahankan. Inilah sakitnya kematian itu. Saya tidak akan mendengarkan lagi suaranya atau humornya yang segar. Ke mana saya harus pergi jika saya ingin berdiskusi dengan dia. Membayangkannya saja membuat sebagian diri saya serasa hilang. Tidak sanggup! INGIN AKU MEMELUK MAMA Ini adalah pengalaman istri saya saat Ibu mertua dipanggil Tuhan: Saya teringat ketika mama dipanggil Tuhan tahun September 1996. Di antara kami bersaudara kandung, hanya saya yang menyaksikan saat-saat terakhirnya. Mama meninggal di usia hampir 60, sesuai doanya kepada Tuhan. Hanya saja, walau mama minta dipanggil dalam kondisi sehat, Tuhan berkehendak lain. Secara psikis kami lelah menghadapi sakit mama. Karena adik-adik saya sudah bekerja dan saya punya anak kecil, sulit bagi kami menyediakan waktu menjaga mama. Maka kami menyewa suster. Selain itu adik saya yang dokter setiap saat ke rumah sakit. Maka ketika kehendak Tuhan terjadi, di satu sisi kami bersyukur, mama tidak menderita lagi. Tadinya saya pikir selesai penguburan kami bisa menata hidup kembali. Ternyata tidak. Kepergian mama menimbulkan luka yang menggigit dalam jiwa saya. Ketika melihat kembali foto pemakamannya, saya ingin memeluk mama, tapi tidak bisa. Tiba-tiba rasa sakit itu muncul. Sakit sampai ke relung jiwa saya. Ah, mengapa saya tidak lebih sering memeluknya dulu? MAMA JANGAN MENINGGAL SEKARANG, YA? Di antara semua cucu orang tua saya, cuma Josephus-lah (anak sulung kami) yang sempat merasakan senangnya memiliki kakek-nenek. Karena dia cucu pertama, dia sangat dimanjakan oleh semua orang di sekelilingnya, termasuk neneknya. Kedekatannya dengan Neneknya membuat Josephus juga mengetahui tahapan-tahapan pengobatan yang harus dilalui neneknya. Bahkan, waktu Sang Nenek dirawat di rumahsakit, Josephus juga ikut jaga malam. Ketika itu usianya belum tiga tahun. Dia senang sekali bolak-balik ke rumah sakit, membesuk dan menunggui neneknya. Setelah dirawat selama empat bulan di rumahsakit dengan semangat penuh untuk sembuh, akhirnya ibu kami harus menyerah pada penyakit kanker payudara yang diidapnya. Josephus juga menyaksikan saat-saat akhir neneknya. Melihat kami semua menangis, Josephus hanya menatap penuh tanda tanya. Maka saya memeluknya dan berkata, “Nenek sudah tidak ada lagi, Jo. Kau sudah tidak punya nenek.” “Lho, itu ‘kan nenek,” jawabnya menunjuk ke tubuh ibu saya yang sudah kaku. Saya tidak bisa menjawab, hanya terisak-isak di sampingnya. Besoknya ibu saya dimakamkan setelah ibadah Minggu. Aula yang memuat seribu orang itu, penuh. Kebaktian tutup peti dilakukan pukul satu siang, dilanjutkan ibadah penguburan di makam. Josephus mengamati baik-baik ketika peti ditutup, rapat, dengan neneknya terbaring di dalamnya. Juga ketika peti dimasukkan dalam liang lahat. Dia juga ikut menaburkan bunga di makam neneknya. Terakhir, anak berusia tiga tahun tiga minggu itu berfoto sendirian di depan karangan bunga-bunga yang menghiasi kuburan ibu saya. Waktu berlalu. Suatu kali, ketika sedang bersisir, saya kaget menemukan selembar rambut putih di kepala saya. Berkali-kali saya perhatikan. Memang, sehelai rambut putih. Saya tidak percaya, sudah tuakah saya? Maka saya meminta Josephus meyakinkan saya bahwa saya memang mulai beruban. “Joseph, sini dulu deh. Lihatin dong ini rambut putih atau bukan?” Josephus segera meninggalkan mainannya untuk memenuhi permintaan saya. Dia naik ke tempat tidur supaya bisa melihat uban di kepala saya. Ia memperhatikan helai rambut putih itu baik-baik. “Bagaimana, Jo?” tanya saya tidak sabar. “Itu rambut putih, ya?” “Iya, memang.” “Coba lihat dulu. Apa Joseph tidak salah?” “Enggak, Ma. Putih, kok.” “Waduh! Mama sudah tua, nih. Sudah mulai ubanan,” kata saya. Josephus memandang saya dengan cermat. Saya jadi bertanya-tanya. Apakah saya salah berkata? “Ma, mama sudah tua, ya,” ujar Josephus akhirnya. Dia ikut duduk di tempat tidur. “Yah, kelihatannya begitu. Mengapa?” jawab saya. “Kalau Mama sudah tua, apakah nanti Mama akan meninggal seperti nenek?” “Setelah tua seperti nenek, ya pasti, dong. Semua orang kan akan meninggal,” jawab saya ringan, tanpa memperhatikan arah pembicaraannya. Josephus terdiam sebentar. “Ma,” dia memegang tangan saya, “Mama jangan meninggal sekarang, ya. Joseph dan adik ‘kan masih kecil. Siapa yang menjaga kami kalau Mama tidak ada?” Saya tertegun. Saya tidak menduga jika kepergian neneknya masih membekas di ingatan Josephus. PERPISAHAN SELAMANYA Suatu hari istri saya   BBM-an dengan anak sulung kami. “Mama sayang kau, Jo. Till death apart,” tulis  Wita. “Cie gombal hahaha,” balas Jo, “berarti nanti kalo mama udah mati ga sayang lagi ya, waduh.” “Hahaha…memang. Kalo udah mati gak kenal kau lagi di surga — eh, benar ga kita saling tdk kenal nantinya? Kan sdh dengan tubuh baru?’ “Ah ngak penting juga  sih, udah ga sadar kali yak.” “Iyalah, Jo. Makanya mama mau realisasikan sayang mama sekarang dg mencium bekas jerawatmu sesering mgk.” Percakapan itu menyadarkan kami  bahwa kematian itu bukan saja perpisahan selamanya dengan orang yang kita  sayangi. Tetapi benar-benar tidak ada kemungkinan bertemu lagi! PERSIAPAN-PERSIAPAN MENUJU KEMATIAN Kematian memang menyakitkan, terutama bagi yang ditinggalkan. Apalagi selama hidup ada hubungan batin atau kedekatan mendalam dengan yang dipanggil Tuhan. Sakit rasanya. Namun bagi yang meninggal, bagi yang percaya itu adalah akhir perjalanan hidup yang membahagiakan. Sebab bisa bertemu dengan Tuhan sang Pencipta dan penyelamat hidup. Mati adalah keuntungan, kata seorang Rasul. Iman itu pula yang memberikan penghiburan bagi keluarga yang ditinggal, ada kehidupan kekal sesudah kematian. Kematian hanyalah pintu masuk kepada kekekalan. Namun secara fisik dan psikologis, setiap kita perlu mempersiapkan jika sewaktu-waktu Tuhan memanggil. Khususnya bagi kita yang sudah berkeluarga dan dikaruniai putra-putri. Setiap kita sadar bahwa pada waktunya kita akan meninggal dunia. Baik kita dalam keadaan sehat atau sakit, sewaktu-waktu kita bisa dipanggil pulang olehNya. Tapi apakah Anda pernah memikirkan dengan serius  persiapan yang perlu Anda lakukan sebelum peristiwa itu terjadi? Hidup laksana sebuah  pertandingan dengan baik, perlu diperjuangkan. Saya pernah bicara dengan seorang ibu yang keluarganya kaya raya. Tapi frustrasi karena perilaku suami dan ibu mertuanya. Dia sebenarnya bosan hidup, tapi tidak siap mati. Anaknya masih kecil dan butuh bimbingannya. Ironis sekali, ibu ini memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Apakah arti hidupmu? Hidup manusia sama seperti uap, kata seorang bernama Yakobus. Sebentar kelihatan dan sebentar lenyap.  Untuk memahami arti hidup sangat penting kita   memikirkan dan memahami arti kematian. Salomo berkata, "Lebih baik ke rumah duka daripada ke rumah pesta, sebab…"  Sesekali saat di kamar mandi saya teringat kata Ayub. "Kita datang telanjang dan pulang telanjang". Apakah arti hidupmu dan  bagaimana kita menjalani hidup yang "sebentar" itu? Baik kita dalam keadaan sehat atau sakit, sewaktu-waktu kita bisa dipanggil pulang oleh-Nya. Tapi apakah Anda pernah memikirkan dengan serius  persiapan yang perlu Anda lakukan sebelum peristiwa itu terjadi? Secara fisik, saya dan istri sudah menyiapkan diri menyambut saat itu. Kami sudah membeli tanah kuburan, dua kapling berdampingan di sebuah tanah pemakaman di luar kota Jakarta. Saya juga sudah berpesan kepada kedua putra kami agar kelak kalau kami meninggal dunia, kami dikuburkan di sana saja. Tak lupa saya pesankan pada kedua putra kami,  bila saya meninggal agar dituliskan di batu nisan “Rest In Peace: Di sini dimakamkan seorang konselor”. Sebab itulah visi dan kerinduan hati kami, melihat visi kami, melihat  berdirinya satu pusat konseling dan kesehatan mental di setiap kota. Orang yang mempersiapkan kematiannya akan bersemangat dalam hidup. Hiduplah hari ini seolah besok anda akan mati, demikian ungkap alm. Steve Jobs pendiri Apple. Sebelum aja menjemput, Ada beberapa hal yang perlu kita persiapkan: 1.      Mendidik anak dengan baik, menanamkan nilai dan tradisi luhur pada mereka terutama pada usia dini yang menyangkut nilai iman dan moral. 2.      Mewariskan pola relasi nikah yang baik dengan pasangan, yang menjadi contoh atau bekal buat anak-anak. 3.      Melatih anak hidup mandiri dan memiliki ketrampilan dasar, setidaknya bisa mengurus diri sendiri dengan baik, apalagi jika mendadak dipanggil Tuhan. 4.      Memberikan pendidikan terbaik yang bisa kita  berikan karena pendidikan merupakan investasi terbaik bagi mereka hingga dewasa. 5.      Menyiapkan mereka lewat sharing informal, menyampaikan bahwa suatu hari kita orang tua mereka bisa sewaktu-waktu dipanggil Tuhan dan mereka harus bersiap mandiri menghadapi segala sesuatu yang tidak diharapkan. 6.      Berusaha  menjadi  orang tua yang gaul  dengan baik. Agar kelak jika kami dipanggil Tuhan, anak-anak  punya komunitas yang  peduli kepada mereka, setidaknya para sahabat dan kerabat dekat kita. MATI YANG BERKUALITAS Ayah mertua saya Prof. Ndraha 15 tahun lalu memberi pesan  bagi anak dan mantunya. Dia mulai dengan bertanya: "apakah ada anak anak bapak yang membawa foto bapak di dompet kalian...?"  ......Ternyata tidak ada satupun dari ketujuh anaknya  yang membawa foto Lalu Ayah mulai memberikan nasehat: " Oke, tak masalah jika kalian tidak membawa foto bapak. Kalian juga boleh lupa wajah Sayab kalau aku sudah meninggal. Tapi ada satu yang tidak boleh kalian lupakan, wariskanlah nilai dan tradisi luhur yang bapak ajarkan kepada cucu cucuku. Kalau kalian lakukan itu barulah aku ini berhasil." Ayah  melanjutkan: "Anak -anak, milikilah  kualitas hidup dan kualitas mati yang baik.   Hidup yang berkualitas adalah: kita mewarisi  hal- hal  yang baik dari para pendahulu kita. Meneruskan nilai leluhur dan para  pengajar  kita dengan baik. Hidup kita berguna. Sedangkan kualitas mati yang baik adalah, kita mewariskan atau meninggalkan hal yang baik kepada anak dan generasi sesudah kita. Kehadiran, ajaran, teladan hidup kita sungguh  berguna bagi mereka. Anak-anak, papa  merasa berhasil, hanya jika kalian mewariskan nilai dan ajaran hidupku pada cucu-cucuku." Bang JS Follow twitter @PeduliKeluarga

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun