Kita semua punya impian untuk sukses. Pergi merantau, bekerja di kota besar, dan mengejar karir yang cemerlang. Dulu, rasanya meninggalkan rumah dan orangtua adalah bagian dari proses pendewasaan.Â
Kita berpikir, nanti kalau sudah sukses, kita akan kembali dan membuat mereka bangga. Telepon menjadi satu-satunya jembatan penghubung. Suara di seberang sana selalu sama: "Sudah makan, Nak? Jangan terlalu capek."Â
Kita menjawab singkat, "Iya, Bu." Tanpa menyadari, di balik suara itu ada kerinduan yang tak pernah terucap. Waktu terus berjalan, dan jarak yang memisahkan bukan hanya kilometer, tapi juga kesibukan dan prioritas yang berbeda.Â
Sampai suatu hari, telepon itu datang. Bukan lagi sapaan hangat, melainkan kabar yang membuat jantung berdebar. "Bapak sakit." Atau, "Ibu sering lupa." Tiba-tiba, dunia yang kita bangun seolah runtuh.Â
Dinding-dinding kesibukan yang selama ini kokoh, kini terasa rapuh. Kita pulang. Pulang bukan untuk merayakan kesuksesan, melainkan untuk menghadapi kenyataan yang selama ini kita abaikan.Â
Rumah yang dulu terasa hangat, kini menyisakan keheningan. Orangtua yang dulu begitu kuat, kini terlihat rapuh. Rambut mereka memutih, langkah mereka melambat, dan ingatan mereka mulai pudar.
Di sanalah kita mulai menjadi caregiver. Sebuah peran yang tidak pernah kita bayangkan. Dulu, mereka adalah caregiver kita. Mereka yang mengurus kita dari kecil, dari makan, mandi, sampai sakit.Â
Mereka tidak pernah mengeluh. Sekarang, giliran kita. Tapi, kenyataannya tidak semudah itu. Kita tidak punya ilmu, kita tidak punya pengalaman. Kita hanya punya niat, dan itu pun sering kali terbentur emosi dan kebingungan.Â
Kita harus belajar dari nol. Belajar cara memandikan mereka dengan hati-hati, membantu mereka makan, dan bersabar saat mereka mengulang pertanyaan yang sama berkali-kali.
Peran sebagai caregiver ini memaksa kita melihat hal-hal yang dulu tidak pernah kita sadari. Kita melihat betapa beratnya beban yang mereka tanggung selama ini. Betapa besar pengorbanan mereka.Â
Dan kini, kita harus membayar semua itu. Bukan dengan uang, tapi dengan waktu dan kasih sayang yang tulus. Menjadi caregiver bukan sekadar tugas. Ini adalah panggilan hati. Ini adalah kesempatan untuk membalas budi yang tak terhingga.Â