Musim Bediding adalah fenomena alam tahunan yang akrab bagi masyarakat Indonesia, terutama di dataran tinggi. Di wilayah seperti Dieng, Jawa Tengah, Bediding terasa lebih intens. Suhu udara bisa anjlok drastis, bahkan sering kali memicu munculnya embun beku, atau yang akrab disebut "bun upas" oleh warga lokal. Fenomena ini bukan hanya sekadar cuaca dingin, melainkan sebuah tantangan besar, khususnya bagi para petani.
Menguak Tantangan Petani Dieng di Tengah Angin Australia
Hari ini Sabtu, 21 Juni 2025, suasana dingin begitu terasa di dataran tinggi Dieng. Angin berembus kencang, membawa hawa dingin menusuk tulang dari arah selatan. Inilah ciri khas Musim Bediding, yang konon dipengaruhi oleh angin dingin dari Australia. Hawa kering dan suhu rendah menjadi kombinasi yang tidak bersahabat bagi sebagian besar tanaman pertanian.
Saya berkesempatan mengunjungi lahan pertanian Dieng di Desa Maron, Kecamatan Garung, Wonosobo, Jawa Tengah. Di sana, saya bertemu dengan Pak Suyatno (57 tahun), seorang petani gigih yang sudah puluhan tahun mengabdikan dirinya pada tanah Dieng. Ia adalah petani yang fokus menanam kentang dan kol, dua komoditas utama di wilayah ini.
Obrolan kami mengalir sembari Pak Suyatno mengecek tanaman kentangnya yang masih hijau. Dari raut wajahnya terpancar keteguhan, sebuah cerminan dari perjuangan panjang menghadapi kerasnya alam Dieng. Ia bercerita banyak tentang bagaimana kehidupan bertani di tengah ancaman Musim Bediding.
"Musim Bediding ini sudah jadi langganan tiap tahun," ujar Pak Suyatno memulai ceritanya dengan suara yang parau, mungkin karena sering terpapar dingin. "Dulu, waktu saya masih muda, dinginnya memang sudah ada, tapi rasanya tidak seekstrem sekarang. Atau mungkin saya yang sudah tidak sekuat dulu, ya?" katanya diselingi tawa kecil.
Perubahan iklim, menurut Pak Suyatno, memang terasa nyata. Musim kemarau jadi lebih panjang, dan Musim Bediding terasa lebih menggigit. "Dulu 'bun upas' (embun beku) itu tidak tiap tahun muncul. Sekarang, hampir pasti ada kalau Bediding sudah puncaknya," tambahnya sambil mengamati pucuk daun kentang yang sedikit menguning.
Dampak embun beku ini sangat merugikan. "Kalau sudah ada bun upas, tanaman kentang ini langsung gosong pucuknya. Apalagi kalau pas baru tumbuh, bisa mati semua," jelas Pak Suyatno dengan nada prihatin. Tanaman kol pun tidak luput dari ancaman yang sama. Daunnya bisa layu dan membusuk jika terkena embun beku terlalu parah.
Bagi petani seperti Pak Suyatno, hal ini berarti potensi gagal panen yang besar. "Modal sudah keluar banyak, tenaga juga. Kalau gagal panen, ya rugi besar. Padahal dari sini kami hidup," tuturnya sembari menunjuk ke arah petak-petak lahannya yang membentang luas.
Tantangan lain adalah serangan hama dan penyakit. "Dingin ekstrem kadang bikin tanaman stres, jadi lebih gampang kena penyakit," kata Bapak Suyatno. Meskipun di sisi lain, beberapa hama mungkin mati karena suhu rendah, tetapi jenis penyakit tertentu justru bisa berkembang biak dengan cepat.
Selain itu, pasokan air juga menjadi perhatian. "Meskipun dingin, ini kan musim kemarau. Sumber air harus dijaga betul. Kalau terlalu kering, tanaman juga susah tumbuh," ia menjelaskan. Kekeringan di musim kemarau ekstrem bisa memperparah kondisi tanaman yang sudah terpapar suhu rendah.