Memiliki rumah sendiri seringkali disebut sebagai salah satu tanda kemapanan. Bagi generasi sebelumnya, membeli rumah, bahkan dengan cara kredit atau KPR (Kredit Pemilikan Rumah), adalah langkah yang relatif umum dan dipercaya. Namun, bagi milenial generasi yang lahir antara awal 1980-an hingga akhir 1990-an isu KPR ini seolah menjadi alarm yang terus berbunyi di benak mereka. Bukan karena mereka takut komitmen terhadap rumah atau masa depan, melainkan ada 'miscalculation' tersembunyi yang kerap tidak mereka sadari, membuat mereka ragu ambil KPR.
Kekhawatiran milenial ini bukannya tanpa alasan. Dibandingkan dengan generasi orang tua mereka, milenial menghadapi tantangan ekonomi yang berbeda. Harga properti yang terus melambung tinggi, kenaikan gaji yang tidak secepat inflasi, dan tuntutan gaya hidup modern, semuanya menjadi faktor yang memberatkan. Lingkungan ekonomi ini menciptakan keraguan besar, membuat keputusan KPR terasa seperti pertaruhan besar yang sarat risiko.
Banyak yang berasumsi, anak muda zaman sekarang enggan membeli rumah karena lebih suka menyewa atau menghabiskan uang untuk traveling dan gaya hidup. Persepsi ini seringkali disematkan sebagai "takut komitmen." Padahal, realitanya jauh lebih kompleks. Keraguan mereka bukan sekadar soal gaya hidup atau kurangnya keinginan untuk menetap, melainkan perhitungan cermat atau justru 'miscalculation' atas kemampuan finansial jangka panjang.
Miscalculation pertama yang sering terjadi adalah perkiraan kemampuan bayar. Milenial mungkin hanya fokus pada besaran cicilan per bulan yang terlihat "terjangkau." Mereka lupa atau tidak menghitung biaya-biaya lain yang menyertai kepemilikan rumah. Ini termasuk biaya notaris, pajak, asuransi, biaya provisi bank, hingga biaya renovasi kecil atau perawatan rutin. Akumulasi biaya-biaya ini bisa sangat memberatkan dan membuat anggaran bulanan jebol.
'Miscalculation' kedua terkait dengan stabilitas pekerjaan dan penghasilan. Dunia kerja sekarang lebih dinamis dan penuh ketidakpastian. Milenial sering berganti pekerjaan atau beralih profesi. Walaupun ini bisa berarti peluang pertumbuhan, di sisi lain, hal ini juga bisa mengganggu arus kas stabil yang sangat dibutuhkan untuk membayar cicilan KPR puluhan tahun ke depan. Perubahan pekerjaan atau jeda karir bisa langsung membuat alarm keuangan berbunyi nyaring.
Lalu ada 'miscalculation' tentang inflasi dan kenaikan suku bunga. KPR adalah pinjaman jangka panjang. Sepuluh, lima belas, atau bahkan dua puluh tahun ke depan, nilai uang akan berubah. Suku bunga KPR, terutama yang bersifat floating setelah masa promosi, bisa naik sewaktu-waktu. Jika tidak diantisipasi, kenaikan ini bisa membuat cicilan membengkak dan memberatkan keuangan, jauh dari perhitungan awal yang terkesan ringan.
Banyak milenial juga melakukan 'miscalculation' dalam perencanaan keuangan darurat. Mereka mungkin sudah menghitung cicilan KPR dengan seksama, tetapi melupakan pentingnya dana darurat yang memadai. Apa yang terjadi jika ada PHK mendadak, sakit, atau kebutuhan mendesak lainnya? Tanpa dana darurat, cicilan KPR bisa menjadi beban yang tak tertanggulangi, bahkan berujung pada penyitaan aset.
Selain itu, ada pula 'miscalculation' terkait potensi kenaikan nilai properti di masa depan. Milenial seringkali berharap properti yang mereka beli akan selalu naik harganya. Padahal, ada banyak faktor yang memengaruhi kenaikan nilai properti, termasuk lokasi, infrastruktur, kebijakan pemerintah, hingga kondisi ekonomi global. Jika properti tidak naik sesuai ekspektasi, bahkan stagnan atau turun, investasi KPR menjadi kurang menarik.
Keraguan untuk ambil KPR juga dipicu oleh 'miscalculation' terhadap nilai waktu uang. Milenial sadar bahwa uang yang dipakai untuk DP dan cicilan KPR bisa saja diinvestasikan di instrumen lain yang lebih likuid dan berpotensi memberikan keuntungan lebih tinggi dalam jangka pendek atau menengah. Mereka takut bahwa mengikat diri pada properti yang tidak likuid bisa menghambat fleksibilitas keuangan mereka untuk meraih peluang lain.
'Miscalculation' lainnya sering terjadi pada pemahaman akad KPR yang rumit. Bahasa hukum di perjanjian bank seringkali sulit dipahami oleh orang aworang. Milenial mungkin tidak sepenuhnya mengerti semua klausul, denda, atau konsekuensi jika terjadi gagal bayar. Kurangnya literasi finansial terhadap detail kontrak ini bisa menjadi bom waktu yang siap meledak di kemudian hari.
Faktor tekanan sosial juga berperan. Melihat teman sebaya sudah punya rumah atau properti bisa menciptakan Fear of Missing Out (FOMO). Namun, milenial yang cerdas akan menahan diri dari dorongan FOMO ini jika perhitungannya tidak matang. Mereka tidak ingin terjerumus ke dalam 'miscalculation' hanya karena ikut-ikutan tren atau ekspektasi dari lingkungan sekitar.