Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Punya Rumah di Indonesia: Milenial Harus Banting Tulang Sampai Kapan?

14 Juni 2025   16:33 Diperbarui: 14 Juni 2025   16:33 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Milenial membeli rumah. Milenial harus banting tulang sampai kapan?. | Image by Freepik/jcomp

Impian memiliki rumah sendiri, sebuah tempat berteduh yang aman, nyaman, dan bisa disebut milik pribadi, adalah dambaan banyak orang. Bagi generasi milenial di Indonesia, impian ini seringkali terasa seperti fatamorgana di gurun pasir yang luas. Mereka terus bekerja keras, bahkan banting tulang, tapi rasanya jarak antara mereka dan rumah impian itu tak kunjung mendekat. Pertanyaan besarnya, sampai kapan milenial harus berjuang sekuat tenaga untuk meraih impian ini?

Dulu, punya rumah seolah menjadi tonggak penting dalam perjalanan hidup seseorang. Setelah lulus sekolah, dapat pekerjaan, menikah, dan punya rumah, begitulah urutan yang umum. Orang tua kita, atau bahkan kakek nenek kita, mungkin bisa membeli rumah dengan harga yang relatif terjangkau, bahkan dengan gaji pas-pasan. Mereka mungkin hanya perlu menabung beberapa tahun, atau mengambil cicilan dengan beban yang masih masuk akal.

Namun, zaman sudah banyak berubah. Harga properti, terutama di kota-kota besar, telah melonjak drastis. Kenaikannya jauh lebih cepat dibanding kenaikan gaji rata-rata. Akibatnya, milenial yang baru memulai karier atau bahkan yang sudah bekerja beberapa tahun, seringkali merasa putus asa melihat harga rumah yang terasa di luar jangkauan. Sebuah rumah sederhana di pinggir kota kini bisa berharga miliaran rupiah, jumlah yang fantastis bagi banyak dari mereka.

Perjuangan Mencari Pekerjaan dan Gaji yang Layak

Perjuangan milenial sebenarnya sudah dimulai dari bangku kuliah. Mereka berlomba-lomba mendapatkan nilai bagus, ikut organisasi, magang, demi punya bekal yang cukup saat mencari kerja. Persaingan di dunia kerja pun sangat ketat. Ribuan pelamar memperebutkan satu posisi, dan banyak dari mereka yang akhirnya harus menerima gaji di bawah ekspektasi. Gaji UMR atau sedikit di atasnya, seringkali menjadi kenyataan pahit yang harus dihadapi.

Dengan gaji seperti itu, biaya hidup di kota besar juga tidak murah. Sewa kamar atau kontrakan, makan, transportasi, kebutuhan sehari-hari, hingga pulsa internet, semuanya memakan sebagian besar penghasilan. Belum lagi jika ada kebutuhan mendesak atau hiburan sesekali untuk menghilangkan penat. Akhirnya, sisa uang untuk menabung menjadi sangat tipis, bahkan nyaris tidak ada.

Milenial mencoba berbagai cara untuk meningkatkan penghasilan. Ada yang mengambil pekerjaan sampingan, menjadi pekerja lepas, atau memulai bisnis kecil-kecilan. Mereka rela bekerja lebih dari delapan jam sehari, bahkan di akhir pekan. Tujuannya satu yakni agar tabungan bisa sedikit lebih gemuk, berharap bisa terkumpul untuk uang muka atau cicilan rumah. Tapi, lagi-lagi, inflasi dan kenaikan harga properti seolah balapan, dan tabungan mereka selalu kalah cepat.

Dilema Antara Gaya Hidup dan Impian Rumah

Seringkali, milenial dituding terlalu boros dan mementingkan gaya hidup ketimbang menabung. Liburan, kopi mahal, gadget terbaru, dianggap sebagai penghambat mereka memiliki rumah. Tudingan ini memang ada benarnya untuk sebagian kecil orang. Namun, bagi sebagian besar milenial, kebutuhan untuk "refreshing" atau mengikuti perkembangan teknologi juga merupakan tuntutan sosial dan profesional.

Bagi mereka, liburan atau menikmati kopi di kafe bukan semata pemborosan, melainkan upaya menjaga kewarasan di tengah tekanan hidup yang tinggi. Gadget terbaru mungkin menunjang pekerjaan atau koneksi sosial. Lagipula, berapa banyak sih yang bisa dihemat dari mengurangi kopi atau liburan, jika harga rumah terus meroket hingga puluhan kali lipat dari gaji mereka? Perhitungan ini seringkali membuat milenial merasa terjebak.

Perdebatan tentang gaya hidup ini seringkali menutupi masalah struktural yang lebih besar, kesenjangan pendapatan dan harga properti yang tidak proporsional. Milenial tidak malas. Mereka justru sangat adaptif dan pekerja keras. Mereka melek teknologi, mau belajar hal baru, dan siap menghadapi tantangan. Namun, sistem ekonomi dan pasar properti saat ini seolah tidak berpihak kepada mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun