Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Gaji "Cukup" yang Tak Pernah Cukup: Mengapa Kelas Menengah Merasa Terkunci dalam Posisi

31 Mei 2025   20:37 Diperbarui: 31 Mei 2025   20:37 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mayoritas karyawan kantoran di kawasan Kuningan, Jaksel, memenuhi bangku warung makan saat jam makan siang, Selasa (27/2/2024). | KOMPAS/PRIYOMBODO

Banyak pekerja yang merasa punya gaji "cukup". Cukup untuk bayar kebutuhan sehari-hari, seperti makan, transportasi, dan sewa tempat tinggal. Mereka masuk dalam golongan kelas menengah. Namun, anehnya, rasa "cukup" itu seringkali tidak benar-benar cukup. Mereka merasa terkunci dalam posisi finansial yang sama, tidak bisa menabung banyak, apalagi membeli aset besar seperti rumah atau kendaraan baru tanpa utang panjang.

Fenomena ini adalah masalah nyata di banyak kota besar, termasuk di Jakarta. Banyak pekerja kantoran, karyawan swasta, atau bahkan profesional muda yang mengalami hal ini. Gaji mereka mungkin terlihat lumayan di atas kertas, tapi kenyataannya, setelah semua kewajiban dibayar, sisa uang untuk "naik kelas" sangatlah sedikit, bahkan tidak ada.

Salah satu alasan utamanya adalah biaya hidup yang terus meningkat. Harga kebutuhan pokok, biaya sewa atau cicilan rumah, transportasi, dan pendidikan anak, semuanya naik dari tahun ke tahun. Sementara itu, kenaikan gaji tidak selalu sejalan dengan laju kenaikan harga-harga ini. Ini membuat daya beli gaji kelas menengah terus tergerus.

Ambil contoh di Jakarta. Biaya sewa apartemen atau rumah kecil di pusat kota bisa menyedot sebagian besar gaji bulanan. Belum lagi pengeluaran untuk makan di luar, karena jadwal kerja yang padat membuat sedikit waktu untuk memasak. Semua ini jadi beban yang sulit dihindari.

Selain biaya hidup, ada juga tekanan sosial dan gaya hidup. Kelas menengah seringkali merasa harus mempertahankan standar hidup tertentu. Mereka mungkin merasa perlu memiliki gadget terbaru, sering nongkrong di kafe, atau liburan sesekali. Hal-hal ini, meski terlihat kecil, bisa menguras sisa uang yang ada.

Ini bukan soal boros semata. Kadang, itu adalah upaya untuk merasa "setara" dengan teman-teman atau rekan kerja. Ada semacam tekanan tak terlihat untuk mengikuti tren atau menunjukkan status sosial. Tanpa disadari, pengeluaran untuk hal-hal ini bisa jauh lebih besar daripada yang direncanakan.

Masalah lain adalah kurangnya aset dan investasi. Kebanyakan pekerja kelas menengah kesulitan mengalokasikan dana untuk investasi yang bisa membuat uang mereka bertumbuh. Mereka mungkin hanya punya tabungan yang sedikit, atau bahkan tidak punya sama sekali. Uang yang ada habis untuk kebutuhan, bukan untuk produktivitas.

Membeli rumah adalah mimpi besar bagi banyak orang. Tapi dengan gaji pas-pasan, uang muka dan cicilan bulanan seringkali terasa di luar jangkauan. Akhirnya, mereka terus menyewa, yang berarti uang keluar setiap bulan tanpa ada aset yang terbangun.

Utang konsumtif juga menjadi jebakan. Kemudahan mendapatkan kartu kredit atau pinjaman online membuat kelas menengah tergoda untuk membeli barang atau jasa yang sebenarnya di luar kemampuan finansial mereka. Ini bisa jadi awal dari masalah yang lebih besar, membuat gaji semakin pas-pasan karena harus menutupi utang.

Bunga pinjaman yang tinggi membuat uang yang seharusnya bisa ditabung atau diinvestasikan, malah habis untuk membayar utang. Ini adalah lingkaran setan yang sulit diputus. Pekerja kelas menengah merasa terus-menerus dikejar-kejar oleh tagihan.

Pendidikan anak juga menjadi beban finansial yang signifikan. Biaya sekolah, les tambahan, dan kebutuhan lainnya terus meningkat. Bagi orang tua kelas menengah, memastikan anak-anak mendapatkan pendidikan terbaik adalah prioritas, bahkan jika itu berarti mengorbankan tabungan pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun